Kamis, 18 Oktober 2012

POPULATION, ENVIRONMENT AND FOOD (Review)



            Populasi itu merupakan jumlah penduduk dalam suatu wilayah. Misalnya jumlah penduduk yang berada di negara indonesia berjumlah 150 juta (misalnya), nah hal itu disebut sebagai populasi. Didalam artikel population, environment and food ini disebutkan bahwa populasi yang sangat besar itu akan menyebabkan pola konsumsi yang sangat banyak pula. Dan peningkatan populasi ini disebabkan oleh beberapa faktor. Seperti misalnya kemiskinan. Ada yang menyebutkan, kebanyakan pertumbuhan populasi yang sangat tinggi ini terdapat di negara yang miskin. Namun ada yang menyebutkan juga bahwa tingkat populasi yang besar itu disebabkan oleh urbanisasi. Misalnya, di beberapa negara yang sudah menyetujui adanya KB. Mereka kedatangan para urban dari negara-negara miskin sehingga tingkat populasinya bertambah sangat banyak. Kemudian, pertumbuhan populasi juga tergantung pada perempuan, karena perempuanlah yang mengandung. Seandainya  seluruh perempuan di dunia ini mempunyai kemampuan untuk bereproduksi yang tinggi dalam artian mereka sedang dalam masa subur, maka kemungkinan besar tingkat populasi di dunia inipun akan bertambah besar.
            Model perubahan populasi itu mempunyai 3 stage:
1.      Primitive social organization: ketika angka kematian itu relatif tinggi dan angka kelahiran itu juga berhubungan tinggi.
2.      Transitional social organization: ketika angka kematian turun, tetap saja angka kelahiran itu tinggi.
3.      Modern social organization : ketika angka kematian itu stabil dan relatif dalam level rendah. Kelahiranpun mendekati level dari kematian. Dan kemungkinan in the near future ukuran populasi tak berubah.
            Pertambahan populasi ini berhubungan dengan environment dan food. Hubungan populasi dengan environment atau lingkungan yaitu ketika tingkat populasi di suatu tempat sudah melampaui batas, maka mereka akan pergi mencari lingkungan yang baru dan berharap dapat hidup dengan lebih baik. Karena, ketika populasi di wilayah tersebut sudah melampaui batas, maka permintaan bahan-bahan makanan pun akan semakin bertambah. Sehingga, jika mereka para produsen tidak dapat memenuhi permintaan mereka, maka mereka akan kelaparan. Kemudian kelebihan populasipun menyebabkan sebuah negara tidak lagi efektif. Pasalnya, lingkungan disekitar mereka akan semakin padat. Untunglah jika pemerintahan disana masih dapat menampung mereka, dalam artian mereka masih diperhatikan dan dijamin semua kebutuhan hidupnya. Namun seandainya negara tersebut tidak dapat memenuhinya maka akan terjadi perpecahan, bahkan bisa sampai menimbulkan peperangan. Karena pada dasarnya manusia akan melakukan hal apapun demi melangsungkan kehidupan mereka. Dan pada dasarnya pula, manusia itu mempunyai sikap egois.
            Menurut teori neo-malthus, populasi itu meningkat karena kesengsaraan manusia dan degradasi lingkungan. Karena kesengsaraannya itu kebanyakan mereka terpaksa mati karena tidak bisa lagi bertahan untuk hidup. Kesengsaraan ini bisa disebabkan karena struktur perencanaan sosial yang tidak merata.
            Dari beberapa argumen, memang dapat disimpulkan bahwa peningkatan populasi itu disebabkan oleh kemiskinan, namun berbeda dengan tanggapan MDCs, mereka menganggap sebaliknya. Yaitu, negara menjadi miskin karena kelebihan populasi. Padahal, seandainya kita dapat memanfaatkan kelebihan populasi itu dengan baik, maka kemiskinan akan dapat teratasi dengan mudahnya. Atau dengan kebijakan pemerintah yang telah bernegosiasi atau telah bekerja sama untuk menyamaratakan penduduknya, kemudian mereka membuka lapangan pekerjaan bagi mereka maka kelebihan populasi ini akan berubah menjadi suatu hal yang bermanfaat bagi semua.
            Bagi sebagian negara, pertumbuhan populasi yang sangat tinggi itu bisa juga dianggap sebagai sebuah masalah. Pasalnya, mungkin karena pernyataan diatas. Selain itu, pertumbuhan populasi yang sangat tinggi pun mampu menyebabkan beberapa hal yang berhubungan dengan lingkungan serta makanan. Hal yang mungkin dianggap biasa itu ternyata menyebabkan masalah yang luar biasa.
            Misalnya, dengan masalah lingkungan dan makanan. Dengan pertumbuhan populasi yang meningkat. Sebagian orang berfikir tentang bagaimana caranya supaya kebutuhan sehari-hari mereka (dalam hal makanan) dapat terpenuhi. Akhirnya mereka melakukan perkembangan dengan melakukan bioteknologi. Mereka menciptakan sebuah gen yang mampu untuk mempercepat tumbuhnya tanaman. Alhasil, percobaan itu berhasil dan diterapkan dibeberapa negara. Namun, karena sifat manusia yang selalu merasa tidak puas. Akhirnya mereka pun menciptakan hal-hal lainnya. Seperti mesin untuk pertanian. Akibatnya, mereka jadi lebih sering menggunakan mesin dibandingkan dengan para buruh. Dan bisa saja hal inipun menjadi acuan terjadinya kemiskinan di negara tersebut. Dengan begitu, maka diperlukan beberapa langkah untuk mengatasi masalah populasi yang berhubungan dengan food ini. misalnya seperti, mengembangkan lagi agrikultur yang sudah ada. Kegiatan ini bisa dilakukan dibelakang rumah atau disekitar rumah lainnya yang sekiranya layak untuk dijadikan tempat menanam tumbuhan. Usahakan dilakukan dengan sealami mungkin. Kemudian gunakan lingkungan sebaik-baiknya.
            Selain itu, kebijakan pemerintahpun ikut mempengaruhi perkembangan populasi di negara-negara ini. Seandainya kebijakan yang dikeluarkan oleh mereka (para pembuat kebijakan) itu benar-benar telah disusun sebelumnya, serta benar-benar telah dipikirkan dari jauh hari dan tujuannya untuk kebaikan masyarakat global maka tidak akan ada yang namanya kemiskinan yang terjadi karena perkembangan populasi yang sangat tinggi. Kemudian populasi yang sangat tinggi karena kemiskinanpun tidak akan pernah ada lagi.

Harper, Charles. (2001) Population, Environment, and Food. In Environment and Society: Human Perspectives on Environment Studies. 2nd Ed. New Jersey: Prentice-Hall, h. 171—259.

Kamis, 11 Oktober 2012

Resume Buku The Political of International Law



BAB I
Dalam buku ini dikatakan bahwa politik internasional dan hukum itu mempunyai sebuah kesamaan atau sama-sama mempunyai hal yang menarik, yang dikategorikan dengan jelas, ketika hukum internasional mempelajari doktrin dan proses. Akan tetapi bukan politik.
Banyak pengamat hubungan internasional kontemporer ini melakukan pemisahan rapi politik dan hukum  yang tampaknya semakin ketinggalan zaman, melalui politik negara dan aktor-aktor lainnya. Kehidupan sosial dan materi mereka tidak menentukan hanya siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana? Akan tetapi yang akan diterima sebagai aktor yang sah dan apa yang akan lulus sebagai perilaku yang sah. Politik internasional berlangsung dalam kerangka kerja aturan dan norma-norma, negara dan perilaku lainnya yang mendefinisikan kembali pemahaman tersebut. Hukum internasional adalah pusat untuk kerangka kerja dan seperti politik konstruktivis mellihatnya sebagai fenomena sosial luas yang tertanam dalam praktek kepercayaan dan tradisi masyarakat yang dibentuk oleh interaksi antara intervensi sosial.
Sampai saat ini konstruktivis telah mengabadikan sebagian besar perhatian mereka terhadap cara dimana aturan dan norma-norma kondisi aktor pemahaman diri, referensi, dan perilaku sebagai konsekuensi dituduh strukturalisme yang berlebihan.
Beralih dari high politics dari penggunaan kekuatan untuk unggulan masalah daerah baru, Robyn Eckersley memeriksa dalam bab 4 hubungan yang kompleks antara global politik dan hukum di bidang lingkungan perlindungan global. Berfokus pada tahun 1997 negosiasi protokol kyoto dari konvensi kerangka kerja perubahan iklim,s erta selanjutnya perkembangan rezim, dia enlist yang kritis konstruktivis untuk menjelaskan hubungan antara politik internasional dan hukum di bidang perjanjian pembuatan.
Dalam bab 5 Richard Price meneliti munculnya selama tahun 1990-an dari norma hukum internasional baru yang melarang penggunaan transfer, produksi dan penimbunan ranjau darat anti personil.
Jika hubungan antara hukum hak asasi manusia internasional dan domestik perubahan politik adalah salah satu dimensi dari cosmopolitanisation hukum internasional, yang lain adalah penciptaan lembaga-lembaga peradilan internasional untuk penuntutan kejaharan terhadap kemanusiaan, genosida dan tindakan agresi yang paling penting merupakan International Criminal Court (contoh lainnya adalah ad hoc untuk mantan Yugoslavia dan Rwanda).
BAB II
The Politics of International Law
Beberapa pertanyaan yang disebutkan dalam bab pertama di jawab dalam bab ini.
Pertanyaannya antara lain :
1.      How should we conceptualise international politics and law?
2.      How should we understand the relationship between two?
3.      How does rethinking these concept help us to understand better important developments in contemporary international relations?
Jawaban untuk pertanyaan yang pertama adalah banyak. Akan tetapi ada tiga pendekatan dasar yang selalu menjadi perdebatan diantara para penstudi Hubungan Internasional. Yang pertama itu datang dari seorang pemikir realis, Hallmark bahwa politik diperlakukan seperti perebutan dari material kekuasaan diantara negara berdaulat, dan hukum juga terkadang menjadi salah satu yang tidak relevan dari pemberlakuan balance of power. Kemudian pendekatan ke dua berasal dari tulisan neoliberal yang mendefinisikan politik sebagai strategic of game. Dan pendekatan yang ketiga adalah dari penstudi konstruktivis.
Menurut pandangan realis, suatu keadaan dimana tidak ada lagi sebuah kelompok kepentikan atau balance of power, maka itu menandakan bukan hukum internasional. Pada pemikiran realis, hukum internasional itu ephipenomenal.
Kemudian, pada saat yang bersamaan realis mewakili politik dan hukum secara terpisah, hal ini juga memperlakukan terbelitnya hukum seperti dalam dan kurang memaksa kalau misalnya tanpa politik. Kemudian yang lebih khusus lagi adalah, hal ini dianggap sebagai fungsi untuk melayani kepentingan politik dari negara yang kuat. Hal ini digunakan untuk membenarkan tindakan negara-negara, tetapi umumnya diamati oleh mereka sebagai pelanggaran. Alfred Zimmen ditangkat dengan baik ketika ia mengamati bahwa hukum internasional saat ini menyerupai pengacara mantel berseni ditampilkan di pundak kekuasaan yang sewenang-wenang. Realis sangat skeptis dengan hukum yang menyediakan jalur yang tak layak untuk tatanan internasional. Kepercayaan ini dalam damai melalui hukum, George Kennan berpendapat tidak diragukan lagi mewakili sebagaian upaya untuk mengubah konsep hukum individu Anglo Saxonkedalam lapapangan internasional dan membuatnya berlaku untuk pemerintah seperti hal ini berlaku di rumah untuk individu.
Sedikitnya ada tiga masalah yang melekat di realis mengenai hukum internasional. Pertama, realis  merasa tidak cukup dengan keberadaan pertumbuhan badan hukum. Kedua, realis tidak menawarkan account tentang bagaimana hukum datang untuk membatasi negara-negara yang kuat. Dan yang ketiga adalah mereka tidak memiliki rekening betapa lemahnya aktor dan serikat  yang lainnya ketika menggunakan hukum internasional.
Argumen yang banyak dalam hubungan internasional adalah alasan hukum atas sahnya justifications dikemukakan oleh aktor dan serikat lain dalam pertahanan dari tindakan mereka. Akhirnya dengan memfokuskan perhatian pada gagasan bahwa uhkum adalah instrumen negara yang kuat. Realis mengabaikan untuk menyelidiki cara yang digunakan oleh yang lemah untuk mencapai hasil yang lebih menguntungkan.
Kemudian pendekatan yang keduan adalah rasionalism. Sementara menerima banyak titik awal dari struktural realisme seperti negara sebagai unit utama dari analisis dan realitaas internasional yang anarki, neoliberalis jauh lebih sedikit meremehkan hukum internasional dari pada realis. Sementara itu reimajinasi membuka ruang untuk hukum internasional, bahkan jika binatang itu relatif dibatasi. Serikat sebagai aktor, rasional mengakui bahwa kepentingan terbaik mereka dicapai melalui saling co-operationing poin.
Neoliberalis membahas jauh hukum internasional secara eksplisit. Mereka lebih memilih untuk meghindari kemarahan realis dengan menggunakan bahasa lembaga yang kurang provokatif atau rezim. Neoliberalis berpikir tentang hukum internasional dengan demikian terselubung dibelakang wacana rezim dan sejauh yang menjelajahi fenomena ini yang terinspirasi dari jembatan-bangunan interdisipliner, tidak ke arah disiplin.
Dengan membuka ruang untuk hukum internaional dan menyediakan alasan untuk yang ever-expanding corpus neoliberalisme bergerak dengan baik di luar penolakan realisme. Namun pemahaman antara politik dan hukum dalam hubungan internasional itu masih tetap terbatas.
Konsep politik dan hukum neoliberalis tidak dapat menjelaskan sejarah dari modern institusi hukum internasional. Jika lembaga hanya berfungsi untuk menyelesaikan masalah dibawah anarki, maka orang akan mempunyai harapan untuk kerjasama dalam menangani masalah. Seperti stabilisasi di wilayah hak milik untuk menghasilkan practicewherever institusi berdaulat serikat membentuk masyarakat.
Kedua, gambar yang rasionalis gambar negara yang strategis dan negosiasi fungsional aturan menangkap tapi satu dimendi dari politik hukum internasional kontemporer.
Ketiga, ide bahwa politik terdiri hanya dari strategik, tindakan utility maximising dan bahwa hukum hanyalah satu set aturan tidak dapat menjelaskan wajibnya kekuatan hukum internaisonal, karena kenyataannya bahwa serikat dengan dan iarge menerima aturan hukum yang mengikat bahkan tidak adanya mekanisme penegakan centralised. Akhirnya, meskipun neoliberalis telah melakukan banyak hal untuk untuk menunjukkan fungsional yang mendorong pembentukan rezim, argumen yang terkuat dalam issue-areas dimana hal ini sedikitnya masuk akal untuk berasumsi bahwa serikat tidak jelas, bahan pra ada kepentingan material, seperti keamanan nasional dan kemakmuran ekonomi dan pembangunan.
Setelah realis dan neoliberalis, sekaran ada ide lagi yang muncul dari constuctivist, yang berpikir bahwa  kekuatan atau tindakan untuk memaksimalkan utilitas dan bahwa hukum internasional pada ephipenomenal terbaik dan terburuk dalam set aturan fungsional telah menantang selama satu dasawarsawa dan terakhir oleh gelombang baru teori internasional constructivist.
Constructivis berpendapat bawa jika anda ingin memahami perilaku serikat dan aktor-aktor lain anda perlu memahami bagaimana identitas sosial, kepentingan dan tindakan mereka. berbeda dengan realis dan rasionalis yang secara eksplisit braket proses pembentukan bunga, constructivist berpendapat bahwa sebagai identitas sosial dari aktor bervariasi begitu juga melakukan kepentingan mereka dengan implikasi signifikan bagaimana mereka berperilaku.
Karena konstruktivis prihatin dengan pemahaman alasan untuk tindakan, mereka tidak hanya fokus pada apa yang disebut dengan logika dari kelayakan. Disesuaikan dengan ajaran normatif tetapi juga pada logika, argumentasi dalam perjalanan dimana norma-norma memberikan komunikatif dimana aktor-aktor perdebatan dari isu badan yang sah, tujuan, dan strategi.
Rethinking politics and the Demand for Institutions
1.      The nature of politics
Argumen maju disini dimulai dari akal asumsi untuk hubungan internasional akademisi dari periode klasik bahwa politik adalah sebuah ragam multidimensional bentuk musyawarah manusia dan tindakan, manusia darah dan tantangan yang terletak dipersimpangan dimensi ini. musyawarah politik dapat dikatakan untuk mengintegrasikan empat jenis alasan: idiographic, purposive, etis dan instrumental. Musyawarah idiographic berlangsung ketika aktor menghadapi pertanyaan “Who I am?” atau “Who are we?”, musyawarah purposive terjadi ketika mereka bertanya “What do I want?” atau “What do we want?”. Kemudian etis musyawarah terjadi  ketika mereka bertanya “How Should i act?”  atau “How we should act”

Mungkin para pengkritik berdebat bahwa dalam berkonsentrasi pada mode politik yang berbeda dari musyawarah pemahaman pilitik ini mengabaikan bahan-bahan penting lainnya, khususnya kekuatan. Penggunaan secara fisik maupun paksaan moral untuk mencapai tujuan politik adalah sebuah fitur berulang dari kedua international dan kehidupan sosial domestik dan sebagai mahasiswa dari hubungan internasional, kita dikondisikan untuk mengobati paksaan seperti esensi dari politik.
2.      The demand for institutions
Pada tahun 1982 Robert Keohane menerbitkan sebuah artikel kunci dalam tradisi rasionalis teori kelembagaan berjudul “The Demand for international Regimes” untuk menunjukan mengapa serikat ingin menciptakan lembaga internasional, ia mengajukan sebuah permintaan pendekatan yang melihatnya sebagai rasional untuk negara-negara dengan kepentingan umum untuk menciptakan lembaga-lembaga untuk memfasilitasi kerjasama. Rasionalis yang benar bahwa musyawarah instrumental dan tindakan memimpin aktor untuk mengejar pengaturan kelembagaan yang mengaktifkan resolusi konflik yang spesifik dan solusi kerjasama dan kolaborasi masalah penyelamat lembaga memang menurunkan biaya transaksi, meningkatkan informasi dan mencegah kecurangan, sehingga memfasilitasi memerintahkan hubungan antar negara. namun ini bukan satu-satunya permintaan untuk berbagai institusi.
Politik harus dipahami sebagai interstisial, rasionalitas kelembagaan harus idealnya dilihat secara holictic. Hal ini karena ada dua alasan. Pertama, politik yang menghasilkan kelembagaan imperatif tidak menjadi tersegmentasi karena mudah ke dalam idiographic distrik, bertujuan etis dan instrumental komponen. Ketika aktor membuat lembaga mereka hampir selalu terlibat dalam pembangungan simultan identitas sosial, definisi dan validasi kepentingan individu dan kolektif pada musyawarah yang baik dan benar dan mengejar tujuan instrumental strategis.
John ruggie telah menunjukan bagaimana lembaga kontemporer multilateralisme sangat terikat dengan idetitas sosial, berbasis seperti pada prinsip liberal yang mendasari aturan yang harus sama timbal baliknya mengikat semua mata pelajaran hukum di semua seperti keadaan.

The Modern Institutions Law
1.      The constitutional structure of modern international society
Hal biasa dalam hubungan internasional untuk membedakan antara sistem internasional dan masyarakat.
Masyarakat internasional dapat dikatakan ada ketika serikat sudah mengenali satu sama lain. hak otoritas yang berdaulat ketika datang berdasarkan kurang pada serikat materi kapasitas untuk mempertahankan kemerdekaan mereka dari pada aturan dilembagakan pengasuh seperti non intervensi, non agresi dan self determination membedakan sistem internasional dan masyarakat.
2.      The discourse of institutional autonomy
Argumen-argumen dalam bab ini menyarankan agar mencari sebuah gambaran jelas antara politik dan hukum dalam hubungan interanasional adalah latihan yang bermasalah.
Mengakui bahwa politik telah membentuk sistem hukum internasional tetapi pada gilirannya berubah oleh sistem penting jika kita ingin memahami salah satu fitur yang paling penting dari hukum internasional modern.
Imajinasi dari sebuah dunia adalah fungsional menguntungkan. Sebagai pikiran kebiasaan sari diskursip mode keterlibatan dan routinised praktek bahwa hal itu ditimbulkan telah mengasumsikan struktural sebuah bentuk dalam masyarakat internasional yang modern, memfasilitasi rangka oleh aktor pengganti. Wacana institusional otonomi yang karakteristiknya hukum internasional modern ini kurang mengejutkan sakralis metafisika. Seperti penting untuk naturalis hukum inernasional sebagaimana mereka untuk kota hukm, dan mereka jatuh oleh krisis yang sama dari otoritas hukum.
3.      The multilateral form of legislation
Jika undang-undang adalah perumusan dan penetapan aturan yang mengikat secara hukum (seperti yang biasa di definisikan), maka itu menjadi bagian dari internasional hidup sebagai kebiasaan dalam negara. dalah satu kegiatan internasioanl aktor adalah negosiasi aturan baru untuk mengatur eksternal mereka dan internal perilaku dalam berbagai bidang masalah. Sebagian besar ini adalah informal, yang melibatkan pertambahan bertahap norma-norma baru melalui argumen, belajar, praktek dan diulang. Proses ini krusial penting, karena mereka adalah sarana utama dimana adat norma-norma hukum internasional berevolusi
4.      The language and practice of justification
Jika salah satu fitur utama dari tatanan hukum internasional adalah wacana yang otonomi institusional, apa itu yang membedakan otonom ranah kelembagaan? Jawaban realis adalah bahwa sistem hukum dibedakan dengan garis wewenang terpusat dan penegakan, keduanya dikatakan kurang dalam ketertiban hukum internasional.
5.      The structure of obligation
Ciri akhir dari tatanan hukum internasional modern adalah struktur obligasi. Rasionalis berpendapat bahwa negara wajib mematuhi hukum internasional karena mereka menyetujui. Perspektif tentang politik hukum internasional maju atas membawa kita selangkah lebih dekat untuk memecahkan teka-teki internasional modern hukum kewajiban. Thomas Franck berpendapat bahwa karena sistem hukum internasional terdesentralisasi dan tidak memiliki kapasitas untuk menerbitkan dan menegakkan perintah seperti undang-undang, negara hanya akan merasa berkewajiban untuk mengamati hukum yang berasal dari sistem jika sistem yang dianggap adil.
Sementara Franck benar bahwa beberapa internal yang berkarakteristik internasional sistem hukum dapat memperkuat rasa keadilan dan legitimasi, legitimasi sistem sebagai lembaga sosia pada akhirnya harus didasarkan pada konsepsi proses peradilan dan kanan antiteror kepada mereka karakteristik internal.

BAB III
WHEN STATE USE ARMED FORCE

Hubungan antara hukum dan politik telah mengadopsi generalisasi pemahaman masing-masing istilah, menyajikan masing-masing dlam sesuatu dari cahaya, monolitik dan pada waktu yang tidak berubah. Hasilnya yang muncul adalah itu sendiri direpresentasikan dalam istilah umum, dimana politik dan hukum baik menjadi entitas sinonim atau yang tatanan hirarkis didirikan antara mereka. kami telah berusaha untuk beristirahat dari tradisi pemikiran,dan untuk menunjukkan bahwa hukum datang dalam segala bentuk pengeritan generik dari aturan jika ada pemahaman yang bermakna adalah yang bisa didapat pada hubungan yang disebut dengan dunia politik. Sebuah undangan baru-baru ini dikeluarkan oleh James Crawford untuk menyususn kembali tradisi realisme itu sendiri dalam realistis, artinya di lebih komprehensif dan representatif menggaris bawahi hal ini perlu untuk merangkul nuansa dan detai mendoba untuk datang berdamai lebih dekat dengan keterangan sebelum estimasi yang terbuat dari hubungan antara hukum dan politik.
Antara hukum dan politik yang ditempa sesuai dengan keadaan yang berlaku. Mencoba untuk mengkonfigurasi hubungan ini bukanlah tugas yang berarti, namun kita telah melihat fungsi hukum baik sebagai faktor yang menghambat tetapi juga sebagai media diskursif penting.
Larangan berlaku mencontoh upaya hukum di negara tetapi menahan tindakan, bahkan kemudian kita harus sederhana dan realistis untuk mengakui bahwa tidak lebih mungkin untuk menunjukan “proksimat penyebab” (hukum pada keputusan akhir yang diambil dari setiap proses manusia lainnya.  
BAB IV
            Kasus perubahan iklim-dukungan studi dari klaim konstruktivis bahwa tidak hanya politik dan hukum yang terkait, akan tetapi juga perundingan yang strategis dan juga alasan moral. Lebih dari itu, hal ini menunjukkan bahwa perjanjian dimungkinkan tanpa adanya hegemon, bahwa identitas dan kepentingan Negara dapat diperjelas oleh praktik domestic dan transnasional praktik yang berbeda-beda, dan bahwa NGOs meningkat dengan banyaknya pengertian akan proses yang berbeda-beda dan legitimasi untuk perjanjian multilateral. Kritikat kontruktivisme menyediakan rekonstruksi rasional mengenai persyaratan diskursif dan procedural untuk aturan legitimasi di zaman modern, dunia yang plural membuat persyaratan keadilan procedural state-centric menjadi bias. Legitimasi selalu menjadi pertanyaan yang bertingkat. Kenyataan bahwa perubahan iklim memengaruhi seluruh dunia sudah menjadi permasalahan masyarakat dunia bukan lagi sebuah Negara, oleh sebab itu, kritikal konstruktivis akan menyadari agar pembuatan perjanjian diadakan dengan lebih terlegitimasi, peraturan cosmopolitan yang ideal adalah kesepadanan dalam mencapai hal yang ingin dituju. Namun penting konstruktivisme juga dapat menjelaskan sosiologis pada ketegangan abadi antara cita-cita komunikatif yang berlaku dan produksi actual hukum positif. Dan dalam mengarahkan perhatian pada pentingnya sejarah, budaya, dan sosial peran / identitas, dapat menjelaskan kesiapan dari berbagai pihak untuk menanggapi berbagai jenis argumen dalam aktual produksi perjanjian. Akhirnya, konstruktivisme kritis adalah mampu menarik perhatian social ambiguitas hukum internasional yang ada (baik lunak dan keras) di jalan itu kadang-kadang dapat digunakan untuk mendisiplinkan aktor kuat dari sudut moral pandang sementara juga melayani sebagai alat untuk melegitimasi lebih sempit dikandung kepentingan nasional pada bagian dari negara-negara yang lebih kuat. Seperti yang telah kita dilihat, norma hukum lunak dapat memainkan peran penting dalam melegitimasi dan mendelegitimasi khususnya klaim dan perilaku, terlepas dari apakah mereka findrefinement dalam aturan khusus, prestasi praktis, dan kepatuhan standar. Jika ada pelajaran politik yang bisa didapat dari wawasan, itu adalah bahwa bahkan hukum internasional yang ada tidak seharusnya seluruhnya diberhentikan sebagai kendaraan untuk perubahan sosial yang progresif.
BAB V
            Bab ini telah meneliti status hukum adat norma melarang penggunaan ranjau AP untuk menggambarkan hubungan antara kontemporer internasional politik dan hukum internasional. Ditemukan bahwa: ada tanpa pertanyaan opinio juris substansial mendukung norma, meskipun tidak universal, pengadilan bisa sangat baik memerintah bahwa penggunaan ranjau darat AP melanggar aturan fundamental masyarakat internasional; praktek dan retorika semua tetapi beberapa negara akan jatuh pendek dari persisten penentang status. Ini bersama-sama menunjukkan pengaruh besar dari aturan hukum baru lahir melarang penggunaan ranjau darat AP. Keadaan penggunaan kekuatan hanya dapat dipahami dalam hal
mendalam perhatian oleh negara dan aktor non-negara untuk alasan tindakan sebagai disebabkan oleh hukum internasional. Alternatif realis argumen menunjuk
tidak adanya dugaan utilitas ranjau darat tidak hanya harus mengabaikan utilitas
dianggap berasal dari mereka oleh aktor kuat berbagai (terutama negara-negara yang menolak norma), namun gagal untuk menghargai norma-merupakan proses dimana penilaian utilitas datang untuk menjadi begitu politis contested. Praktek ini pada gilirannya mempengaruhi bentuk hukum internasional. untuk mencegah struktural pemberdayaan aktor non-negara - sini, hakim – yang dimasukkan ke dalam posisi untuk berhasil menerapkan hukum adat terhadap mereka di pengadilan, beberapa negara telah membuat jalan ke wacana hukum persetujuan.
Dengan demikian negara banyak yang telah berusaha untuk menghindari kontribusi terhadap status adat yang muncul dari norma telah melakukannya dengan cara yang berkubu hukum perjanjian internasional. Jika adat menjadi semakin menurun penting sebagai sumber hukum dalam politik internasional, mungkin karena hukum perjanjian telah menjadi lebih, tidak kurang, mengakar, dan komunitarian yang kewajiban masyarakat internasional diperdalam.
BAB VI
            Kisah Jepang, norma hukum internasional, dan migran, benar-benar dua cerita terjalin, baik dengan implikasi bagi politik internasional hukum. Cerita pertama adalah tentang sebuah negara mengadopsi internasional hukum harus dilihat sebagai negara yang sah. Bahkan kisah ini memiliki dua fase untuk Jepang. Sebelumnya dalam sejarah Jepang mengadopsi hukum internasional, dan dimodelkan nya hukum nasionalnya setelah struktur hukum negara yang kuat, untuk menjadi kekuatan yang sah. Pemerintah menggunakan lembaga hukum internasional untuk tampil seperti kekuatan Eropa, dan mampu untuk memainkan permainan politik kekuasaan dalam peran yang kuat, bukan peran korban. Tapi setelah tahun 1970-an Jepang negara yang lebih kuat juga diperlukan hukum internasional harus dilihat sebagai negara yang sah. Dan sekarang simbol legitimasi kekuasaan tidak per se, tetapi apakah itu diadopsi hukum internasional untuk mengatur kebijakan domestik hak asasi manusianya. Jepang meratifikasi berbagai konvensi internasional karena tanpa dilakukan sehingga tampak menyimpang, tidak seperti klub yang sah dari negara untuk yang dicita-citakan. Ini ratifikasi pada gilirannya memiliki dampak yang mendalam pada hukum domestik menangani orang asing di Jepang. Singkatnya, dalam waktu baik periode, masyarakat internasional menawarkan sebuah model yang sah kenegaraan yang melibatkan mengadopsi standar internasional, dan Jepang mengambil di. Tapi cerita kedua telah menjadi fokus dari bab ini. Apa yang memiliki implikasi hukum internasional telah untuk migran di Jepang? Di banyak cara mereka telah sangat signifikan. Sebagai Lawrence Repeta berpendapat, dengan penerapan perjanjian hak asasi manusia (dan saya akan berdebat instrumen internasional lainnya), aktivis hak asasi manusia telah 'memperoleh
alat struktur hukum yang koheren sanksi oleh negara-negara PBB dan banyak dilihat oleh Jepang sebagai yang paling canggih '.67 Dalam konteks keprihatinan atas internasionalisasi dan reputasi, kegunaan alat ini harus tidak akan meremehkan dan sulit untuk memperhitungkan peningkatan kebijakan terhadap orang asing tanpa latar belakang kontekstual di Jepang internasional identitas dan standar internasional. Ini penting khususnya bahwa standar-standar internasional hukum. David Martin68 berpendapat bahwa antara tahun 1945 dan 1970-an pernyataan PBB tentang hak asasi manusia yang rutin dan tidak banyak diharapkan memiliki dampak nyata pada praktek pemerintah. Meskipun demikian, norma-norma hukum sekarang dapat dipanggil dalam klaim LSM terhadap pemerintah, kadang-kadang memberikan dukungan kepada mereka claims.69 Sebelum pembangunan dari instrumen HAM internasional, penentang pemerintah Praktek mungkin telah mampu untuk menyatakan bahwa suatu kebijakan tertentu adalah 'ide yang buruk', tetapi mereka sekarang memiliki senjata lebih kuat: pemerintah Praktek ini tidak hanya buruk, tapi 'melanggar hukum internasional' .70 Ini 'hukum mengubah theNGOfrom pengacau dibenarkan ikut campur nya ke bisnis orang lain menjadi pelayan prinsip internasional yang disepakati, hanya mengajukan pertanyaan atau menekan titik-titik yang memiliki hak untuk peduli tentang '.71 Demikian pula, Ellen Lutz dan Kathryn Sikkink berpendapat hukum yang memiliki fungsi ekspresif yang penting. Ini secara resmi menyatakan kembali nilai-nilai sosial dan mengkomunikasikan norma. Dalam kasus Amerika Latin mereka menunjukkan bahwa legalisasi meningkatkan jumlah jalur yang tersedia bagi mereka yang mencari untuk meningkatkan hak asasi manusia dengan meningkatkan jumlah tempat di mana manusia isu hak bisa raised.72 Kasus Jepang adalah serupa bahwa hukum internasional telah membuka jalan baru bagi mereka di Jepang mencari untuk mengatasi diskriminasi. Hukum internasional telah kritis meskipun hukum di Jepang diperkirakan untuk memiliki sanksi yang lemah dan meskipun fakta bahwa norma-norma sosial dianggap lebih penting bagi perubahan sosial. Legalnormsare berpikir untuk menegaskan sosial konsensus dan menjadi efektif bila kontrol sosial istirahat down. Tetapi hukum di Jepang menyediakan rute bagi orang asing untuk mencari solusi yang sebaliknya sebagian besar tidak tersedia. Tidak ada konsensus sosial menguntungkan hak-hak migran, juga tidak ada banyak norma-norma sosial yang menguntungkan mereka. Hukum tidak mungkin menjadi obat pilihan pertama di Jepang, tetapi sering paling efektif bagi orang asing. Seperti John Haley menunjukkan, meskipun lemah sanksi, hukum menetapkan norma yang sah prinsip. Setelah ada ekspresi public pelanggaran hukum mereka harus ditangani. Yang mengatakan, tanpa semacam perubahan terus norma-norma sosial dibahas di awal dari bab ini, dibawa sebagian oleh orang sehari-hari banyak di Jepang melihat negara mereka sebagai 'abnormal' sehubungan dengan orang asing, dampak pada orang asing akan dibatasi.






BAB VII
The International Criminal Court
            Kampanye pengeboman Kosovo telah membuktikan bahwa pertimbangan hukum dapat membentuk suatu tindakan. Hal itu juga telah membantah pernyataan realisme yang mengatakan bahwa negara selalu memiliki kewenangan untuk melegalkan setiap tindakan yang ada. Disini juga dikatakan bahwa negara akan mengabaikan kebutuhannya untuk dapat melegalkan posisi mereka, namun tentunya setiap tindakan memiliki konsekuensi dimana waktu setiap negara terbuang banyak untuk dapat mencari alasan-alasan yang rasional. Oleh karena itu, kurangnya alasan legitimasi yang tersedia akan membatasi perilaku negara kecuali negara-negara yang memiliki kekuatan untuk melakukannya, dimana mereka tidak menggunakan argumen beralasan dan mengandalkan kekerasan.  pemeriksaan ini menunjukkan target kebijakan NATO, bahkan dunia aliansi militer paling kuat menyadari kebutuhan untuk membenarkan tindakan-tindakannya sebelum diadili oleh opini publik domestik dan dunia. Dan fakta bahwa Pemimpin aliansi tahu bahwa mereka akan dipanggil untuk membela target mereka merupakan salah satu faktor penghambat pada apa yang bisa diserang. Ini menjadikan NATO mendapatkan beban dasar hukum yang berasal dari negara-negara demokratis yang harus menjawab sebelum publik dalam negeri dan media global siap untuk mengekspos celah antara alasan manusiawi di balik intervensi dan cara yang digunakan. Anggapan bahwa hukum merupakan strategi pemboman tidak harus dibaca sebagai pendukung 'hukum sebagai aturan'.
Ini adalah cara untuk berpikir bahwa ada pandangan yang objektif atau hukum yang tepat dimana pria dan wanita dapat melakukan penalaran hukum yang kuat dan berlaku. Jika ini adalah kasus, maka akan diperlukan bukti untuk menyatakan bahwa sengketa antara NATO, HRW dan  AI selama pelaksanaan hukum OAF telah terselesaikan, karena salah satu sisi yang menerapkan pertimbangan hukum cacat. Pada kenyataannya, kasus ini menunjukkan bahwa kesepakatan tentang aturan-aturan hukum yang relevan adalah jaminan bahwa aktor akan menyetujui aplikasi mereka dalam kasus-kasus tertentu. Fakta bahwa AI dan HRW memberikan kesimpulan berbeda dari apa yang telah diterapkan oleh badan hukum menggambarkan masalah ketidakpastian hukum. The New Haven mencoba untuk menyelesaikan masalah ini dengan menjadikan martabat manusia sebagai ajaran moral universal yang harus digunakan untuk memutuskan antara tuntutan hukum yang saling bertentangan. Masalahnya adalah bahwa jalan ini tidak akan menyelesaikan masalah sengketa hukum karena kedua maknanya dan aplikasi untuk kasus-kasus tertentu akan sangat diperdebatkan. AI dan HRW akan mengklaim interpretasi mereka atas hukum untuk menjadi yang hal yang valid, tetapi hal ini tidak dapat secara legal ditentukan dengan mengacu pada tujuan manusia martabat atau konsepsi lain dari baik. Kedua organisasi hak asasi manusia - Terutama AI - terlalu dogmatis menyatakan bahwa tindakan NATO jelas dilanggar IHL. Mereka memobilisasi dan membujuk kasus terhadap NATO, tetapi fakta dan bukti hukum untuk kasus ini tidak cukup untuk menjamin penentuan hukum yang pasti. AI dan NATO menantang HRW di medan  hukum Protokol 1, namun mereka kehilangan kesempatan untuk mengeluarkan tantangan yang lebih dalam terhadap moral dan asumsi yang tersembunyi yang mendukung hukum perang. Mempertanyakan hukum apa yang dianggap sebagai target militer adalah hal yang sah namun tidak termasuk pertanyaan penting.
Laporan oleh AI dan HRW mengkritik NATO karena tidak menerbangkan pesawat tersebut pada rendah ketinggian untuk mengizinkan diskriminasi target yang lebih baik dan untuk tidak memberikan peringatan ketika mempersiapkan untuk menyerang fasilitas dual purpose (seperti yang disyaratkan dalam Pasal 57 (2) (c) dari Protokol 1) .82 Alasan di balik kedua militer prosedur operasi adalah keselamatan ofNATO awak pesawat. Tantangan moral menyeimbangkan risiko yang dihadapi oleh kombatan dan warga sipil tidak dapat diputuskan oleh penerapan hukum. Tetapi jika warga sipil yang lebih baik dijaga di masa depan, mengubah hukum perang bisa memfasilitasi hal ini.
Ada dua hambatan yang signifikan lebih lanjut untuk memperketat celah dalam Protokol 1. Yang pertama adalah bahwa secara efektif meningkatkan standar hukum perlindungan sipil dalam intervensi kemanusiaan di masa depan namun akan membutuhkan negara untuk menerima risiko yang meningkat terhadap militer mereka. Namun sebagai Independen Internasional Komisi Kosovo menunjukkan, adanya keseimbangan di sini, sebagai negara yang sedang diminta untuk mengambil risiko untuk tujuan kemanusiaan, dan mungkin enggan untuk melakukannya. '85 kekhawatiran ini ditanggung oleh kasus Kosovo. Komitmen untuk memaksa perlindungan menyebabkan pemboman yang dipilih sebagai sarana intervensi, dan berbentuk pelaksanaan kampanye udara. Ignatieff berpendapat bahwa NATO 'Warfare'86 tanpa risiko bertentangan dengan hak asasi manusia merupakan penting karena diasumsikan bahwa 'hidup kita lebih penting daripada kita melakukan intervensi untuk menyelamatkan '.87 Merevisi hukum perang untuk lebih mengamankan non-kombatan tergantung seberapa kritis kah mereka setelah mengubah pola pikir ini, khususnya di kalangan politik Amerika Serikat dan pemimpin militer. Hambatan kedua untuk pembangunan lebih tinggi adalah pihak militer dapat melakukan intervensi kemanusiaan dan bahwa negara mungkin menentang hal ini karena kekhawatiran bahwa hal itu bisa mengekspos kekuatan mereka dan meningkatkan peningkatan risiko penuntutan atas kejahatan perang. Kekhawatiran ini mendorong oposisi virulen pemerintahan Bush ke Internasional Pengadilan Kriminal (lihat David Wippman, pasal 7,) dan keberatan ini dengan mudah bisa menggagalkan setiap gerakan dalam arah mengubah Protokol 1.
Hal ini jelas bahwa hambatan yang signifikan berdiri di jalan perubahan hukum perang untuk meningkatkan kekebalan sipil dalam perang. Namun, seharusnya tidak mencegah masyarakat HAM global dalam mencari untuk meyakinkan pemerintah dan militer untuk menerima pembatasan yang lebih besar pada apa yang dapat sah ditargetkan dalam kasus-kasus intervensi pada masa depan di bidang kemanusiaan. Hasil dari kampanye tersebut akan menentukan apakah yang tidak bersalah dapat lebih terlindungi pada saat negara, atau kelompok negara, memutuskan untuk pergi berperang dalam membela hak asasi manusia.




BAB VIII
The Kosovo Bombing Campaign
Nicholas J. Wheeler                                   
Chapter ini mencoba menjelaskan tentang perbedaab interpreasi beberapa perspektif dalam hubungan internasional dalam memandang hukum internasional. Pembahsan ini memberikan ilustrasi tentang kampanye NATO untuk memerangi Yugoslavia pada sekitar bulan maret hingga juni 1990. Disini dijelaskan sejauhna mana hukum mempengaruhi jalannya operasi militer dan mencegah penggunaan kekerasan yang berlebihan dalam aksi sebuah negara terhadap negara lain. Chapter ini juga memberikan penjelasan tentang bagaimana cara untuk memisahkan hukum dan politik dalam kompartemen yang berbeda dan interpretasi yang berbeda-beda dari beberapa ahli. Hal ini juga berfungsi agarkita dapat memecahkan pandangan kaum realis tentang hukum internasional yang menganggap bahwa huku internasional hanyalah sekumpulan nilai-nilai moral yang berada dalam lingkup internasional dan bersifat tidak mengikat. Realis juga berpendapat bahwa hukum internasional hanyalah sebuah kajian yang terdapat hanya pada isu-isu pembuatan kebijakan luar negeri negara –negara  tingkat kedua atau peri-peri.
Judges Fitzmaurice dan Spenser,  secara klasik mengartikulasikan pandangan tentang hukum internasional ini sebagai bidang studi yang otonom. Mereka tidak menyangkal bahwa keputusan-keputusan hukum meliki konsekuensi ppolitik, tetai mereka menagtakan bahwa hal tersebut tidak harus didasarkan pada nilai-nilai tertentu. Sebaliknya, mereka harus didasarkan pada keutusan-keputusan hakim terdahulu untuk dapat diterapkan dalam penyelasaian kasus yang terjadi saat ini. Namun hal ii mendapat tanggapan dari Higgins. Ia berpendapat bahwa aturan hukum yang ada tidak harus diterapkan terlepas dari konteks normatif, dan bahwa relevansi dari kasus-kasus sebelumnya, harus memutuskan sedemikian rupa untuk mempromosikan tujuan moral internasiona society.
Kemudian New Haven school menyatakan bahwa konsep hukum itu terbuka. Lebih khusus lagi, dalam hal ini adalah tugas para pembuat kebijakan untuk menerapkan interpretasi hukum yang dapat memperkuat nilai martabat manusia dan menidentifkasikan standar keputusan hukum yang akan dibuat. Hal ini kemudian mendapat kritikan bahwa pernyataan dari New Haven school tersebut membuat hukum internasioanl  seolah-oleh sangat fleksibel dan dapat dibuat sesuai dengan keinginan dari para pembuat kuputusan. Hal ini juga merupakan kritikan paling dasar dari kaum realis tentang hukum internasional.  Secara umum kaum realis setuju bahwa secara politis hukum internasional berguna untuk memberikan pembenaran untuk semua tindakan yang dilakukan oleh negara. Akan tetapi mereka lebih setuju dengan pernyataan Sir Arthur Watt bahwa yang semua pemerintah harus lakukan adalah hukum pembenaran agar apa yang mereka lakukan adalah hal terbukti bukan merupakan tindakan sia-sia.
Chapter ini juga memberikan contoh kasus yaitu tentang kampanye NATO untuk menyerang Yugoslavia. Dimana jika dilihat melalui pendekatan aturan, NATO secara jelas melanggar piagam PBB tentang kalusula penguasaan penggunaan kekerasan. Kemudian jika dilihat dari sisi hukum, NATO menggunakan kekuatan secara illegal. Namun jika dlihat dari segi yang jauh lebih luas, NATO ikut membatu dalam mencapai tujuan moral piagam PBB dan hukum internasional, dimana ia ikut membantu dalam memberantas kejahatan manusia yang dilakukan oleh penguasa serbia di Kosovo atas dasar human intervention dan human rights, sehingga keputusan yang muncul  akan kasus ini pun akan berbeda.
Banyak sekali pandangan tentang eksistensi hukum internasional dan posisinya dalam hubungan internasional dan penagruh politiknya. Namun pada intinya hukum internaisonal itu tetap diperlukan untuk dapat membatasi tindakan negara-negara terhadap negara lainnya dan memberikan alasan-alasan yang rasional atas setiap tindakan yang dilakukan oleh negara. Akan tetapi, unsur politik dalam hal ini tetap memberikan kontribusi lebih jika negara-negara harus dihadapkan ada persaingan dibandingkan dengan hakikat sebanarnya yang harus dicapai dari hukum internasional. Namun hal ini tidak berarti bahwa kepentingan politik negara  dapat secara langsung menghapuskan aturan hukum internasional yang berlaku, teapi keduanya bersiat lebih komprehensif  dan saling melengkapi satu sama lain.


BAB IX
International Financial Institutions
Anthony Anghie
Chapter ini berusaha untuk memeriksa hubungan antara hukum dan politik sebagai manifestonya sendiri dalam aplikasi di dua institusi keuangan besar, International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Politik mengenai International Financial Institutions (IFIs) menghadapi banyak tantangan seperti ketegangan yang meningkat antara perhatian International Orgaizations (IOs) yang lebih mengarah tentang bagaimana IOs memelihara otonomi merka dan usaha usaha dari negara terutamanya negara yang kuat untuk mendorong kepentingan mereka melalui IOs, konstitusi dan menghidupkan politik dalam IFIs.. Poltik IFIs juga dibentuk secara signifikan dengan kontroversi yang besar mengenai kebijakan IFIs di negara berkemebang dan sikap IFIs terhadap Hak Asasi Manusia dan isu-isu lingkungan. Chapter ini mengadopsi perspektif legal untuk mencari tahun bagaimana IFI menangani tantangan-tangtangan ini.
Chapter ini mencoba untuk menjelaskan beberapa pertanyaan seputar hubungan antaran hukum dan politik dengan terfokus pada isu-isu. Chapter ini dimulai dengan pemeriksaan struktur konstitusional dari IFIs dan percampuran khusus hukum, politik dan teknokrasi yang menjelma dalam struktur ini. Kesimpulan dari penulisnya adalah ketika IFIs terutamanya Bank, berusaha untuk memperlihatkan perkembangan terbaru mereka dalam hukum internasional bisa merubah cara kerja mereka secara signifikan, klaim-klaim ini hanya memiliki ketidaknetralan, dan masalah validitas.
IFIs merupakan hasil dari hukum internasional terutamanya hukum perjanjian internasional. Dalam istiah yang lebih luas hukum yang mengatur IFIs bisa ditemukan dalam dua bidang yang berbeda: pertama dalam artikel perjanjian dan mendirikan dokument-dokumen atas institusi dan kedua dalam ruang lingkup hukum internasional yang lebih luas yang mencipatakan lingkungan dimana institusi-institusi internasional ini bekerja dan dimana menganugerahkan institusi-institusi ini hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu.
Indepedensi IO mungkin bisa dikompromosikn dalam sejumlah cara yang berbeda, tapi dengan melihat IOs sebagai actor bermaksud untuk melindungan indepedensi dimana otoritas mereka bergantung, dan dapat diperoleh rasa kompleksitas politik dari IFIs dan perannya yang krusial bahwa hukum bermain dalam mengatur dan mengatur aktor besar yang penting ini.

BAB 10
 Law, Politics and International Governance
Dalam bab ini dilakukan pendekatan terhadap tema utama dari buku ini yaitu mengembangkan empat argumen utama serta mendefinisikan dan membuat konsep dari “institusi” dan “pemerintahan” sehingga didapatkan perbedaan antara hukum dan politik yang tidak relevan.  Christian Reus-Smit (dalam pasal 1 dan 2) mempertanyakan bagaimana seharusnya kita berpikir tentang hukum internasional dan internasional politik dan hubungan antara keduanya.
Kemudian jawaban dari buku ini adalah setuju dengan Reus-Smit dimana hukum internasional dan politiksaling membentuk satu sama lain, meskipun adanya perbedaan dari keduanya. Membahas permasalahan mengenai International Governance berarti kita harus membahas mengenai governance juga. Ada satu kata tambahan untuk membantu memahami governance yaitu institutions (institusi). Governance lebih bersifat kepada politik, sementara institutions lebih bersifat kepada hukum. Institutions juga disebut sebagai rule system. Didalam institusi, aktor-aktor diperbolehkan untuk mengekspresikan keinginan mereka, tetapi mereka harus berkonsultasi dengan individu yang lain terkait dengan keinginan mereka. Institusi bisa berupa sebuah rule structures atau struktur kepemimpinan. Kepemimpinan (rule) tentu berbeda-beda, ada yang bersifat formal, otoriter, dan sebagainya, tetapi kepemimpinan tersebut akan menambahkan sesuatu kepada institusi.
Institusi dapat bertahan karena institusi adalah sebuah konstruksi fungsional. Institusi pun memberi banyak manfaat kepada masyarakat seperti memberikan petunjuk berperilaku kepada massyarakat, mengurangi ketidakpastian dan biaya transaksi, dan akhirnya memfasilitasi pertukaran sosial dan kooperasi.
Selain institutions (institusi), ada juga governance. Menurut buku The Politics of International Law, governance adalah sebuah proses dimana ruling system mengadaptasi kebutuhan dan tujuan dari orang-orang yang tinggal dibawah sistem tersebut. Ada dua struktur untuk melihat apakah kedua jenis governance ini mengatasi kedua-duanya. Struktur pertama adalah The Argumentation Framework. The Argumentation Framework ini berusaha untuk membuat pihak yang berselisih ini mengajukan klaim normatif dan melawan argumen-argumen dari orang-orang. Struktur kedua adalah triad. Disini, pihak-pihak yang bersengketa mencari pihak ketiga untuk memberikan resolusi yang sesuai. Perselisihan mengenai resolusi, di dalam beberapa situasi dan kondisi, juga dapat memancing apa yang disebut dengan kondisi normatif.
Ada juga hubungan kausal antara TDR (Triadic Dispute Resolution) dengan rule innovation. Mengutip dari buku The Politics of International Law halaman 247:
“If the triadic entity resolves disputes in a minimally respectable (rather than arbitrary or a fraudulent) manner, and gives reasons for her decisions, then these decisions will contain materials for consolidating existing, or building new, norms. Given two conditions, TDR is likely to generate powerful pedagogical – or positive feedback – effects, to be registered on subsequent social exchange and dispute resolution. First, actors must perceive that they are better off in a world with TDR than without it. If they do, and if they are rational, they will evaluate the rulefulness of any potential action and anticipate the probable outcome issuing from TDR. Second, the dispute resolver must understand that her decisions have some authoritative – that is, precedential – value.”
Ketika entitas triadic ini diselesaikan dengan bukan sewenang-wenang maka hal ini akan memberikan alasan atas keputusan itu dan keputusan tersebut akan berisi norma-norma. Dalam penyelesaian sengketa pertama aktor harus memahami bahwa mereka akan lebih baik di sebuah dunia dengan Triadic Despute Resolution (TDR)dibandingkan tanpa itu. Kedua sengketa resolver harus memahami bahwa sebuah keputusan itu memiliki beberapa otoritatif yaitu presidential. Untuk memasukannya ke dalam istilah konstruktivis, pemerintahan akan membantu triadic untuk mengkoordinasikan hubungan yang kompleks antara struktur dan agen.
Pada tahun 1950, TDR mulai muncul dalam bentuk sistem panel yang terdiri dari tiga sampai lima anggota dan biasanya GATT diperoleh atas otoritas yang melalui persetujuan dari dua negara yang bersengketa. GATT merupakan perjanjian yang sangat komprehensif dan komersial dalam mengatur lima perenam dari perdagangan dunia. Pada tahun 1955-1974 anggotanya meningkat sampai 100 negara dan 124 negara mendirikan WTO.
Perspektif Neorationalist pada rezim internasional dan sistem hukum memberikan sebuah kontribusi untuk pemahaman kita tentang bagaimana aktor membangun pengaturan kelembagaan baru untuk mencapai tujuan bersama.
Sebuah aturan masyarakat internasional itu bisa dipengaruhi oleh kedudukan negara-negara besar. pada kenyataannya, belum tentu suatu negara yang aktif memanipulasi ide-ide dan budaya untuk keuntungan diri sendiri. Namun seiring berjalannya waktu, muncul evolusi dari norma-norma internasional yang bisa memberikan sebuah dampak bagi negara-negara kuat melalui berbagai macam mekanisme.
Pada akhirnya hukum, politik, dan pemerintahan internasional intinya memiliki hubungan saling keterkaitan di mana hukum mengatur pemerintah dalam berpolitik. Sengketa-sengketa yang muncul memiliiki hukumnya masing-masing dan pemerintahan harus siap dengan permasalahan yang ada dan haru bisa menyelesaikan sengketa tersebut demi kemajuan negaranya sendiri.
BAB 11
SOCIETY POWER AND ETHICS
Dalam bab ini Hans Morgenthau menekankan pada perbedaan antara hukum internasional yang politis maupun yang non politis.Menurutnya, hubungan antara politik dan hokum berada di garis yang sama, politik membentuk hukum, bukan sebaliknya.
Hukum internasional melakukan timbal balik untuk membentuk politik. Konsep masyarakat, kekuasaan dan etik merupakan tiga konsep yang berpengaruh pada pemikiran mengenai kebiasaan dan hubungan antara hukum internasional dan politik internasional.
Negara-negara berdaulat dapat membentuk lebih dari sekedar sistem, bahkan dengan tidak adanya otoritas pusat, negara-negara berdaulat dapat membentuk society. International society lebih dari sekedar asosiasi, karena menunjukkan karakteristik ‘purposive association’.
Asosiasi ini ada ketika terdapat persetujuan mengenai substansi tujuan moral yang mana seluruh masyarakat dari Negara bertugas untuk menjaganya. Bagi para pluralis, prinsip non-intervensi adalah aturan utama dalam hokum internasional, bagi para solidaris, prinsip cosmopolitan dari HAM harus diprioritaskan ketika Negara melakukan tindak criminal melawan kemanusiaan. International society bukan hanya diatur oleh hokum internasional, tapi dibentuk olehnya. Hukum internasional seringkali dipahami sebagai system aturan-aturan,  namun dengan perspektif yang lebih mendalam hokum internasional dapat dipandang lebih dari system aturan-aturan tapi juga proses sosial

Power
Power dan hokum tidak bisa hanya dianggap sebagai possessive-materialist, walaupun politik itu sendiri merupakan struggle for power. Power hendaknya dipandang sebagai relational,  bukan  possessive. Power hanya dapat berkembang melalui pertukaran antara aktor-aktor yang terlibat dalam hubungan tertentu. Power yang otoritatif stabil dan kondusif untuk pemerintah berkelanjutan, sementara power yang koersif tidak stabil dan ditujukan untuk berbagai perintah, ancaman dan sanksi. Power dianggap efektif, tahan lama, dan dapat dipercaya ketika dianggap legal dan terstruktur. Bagaimana cara power terlegitimasi dan terstruktur dalam sistem sosial? Adalah dengan melalui institusi karena aturan-aturan, norma-norma dan prosedur pembuatan keputusan yang mendirikan institusi adalah legitimator. Negara-negara dominan meginginkan untuk mengatur dan member sanksi aturannya karena mayoritas dari mereka ingin power yang legal dan terstruktur terhadap segala perubahan-perubahan koersi dan konflik. Power dalam dunia kontemporer dilegitimasi dan distrukturisasi oleh institusi hokum internasional.

Ethics
Hal yang sering menjadi pertanyaan utama dalam mempelajari kasus adalah bagaimana hokum internasional modern beroperasi sebagai frame etik, untuk membatasi perilaku argument etik dan negosiasi dari prinsip-prinsip hukum yang dimodifikasi. Hal ini bukan untuk mengurangi etika menjadi hukum, yang meninggalkan tidak adanya dasar untuk kritik hukum, tetapi lebih untuk melihat hokum internasional sebagai institusi local yang dimana norma-norma yang mapan dan mode istimewa dari penalaran kondisi dialog social tentang norma yang ada dan diinginkan, dialog yang mencakup klaim tentang yang benar dan yang baik.
Bagi konstruktivis, pemahaman ini memudahkan perkembangan teori empiris dari bentuk norma yang menekankan cara aktor menegosiasikan norma-norma baru. Bagi etisis komunikatif, pemikiran pragmatik universal memberikan dasar bagi sebuah teori etik dari pembentukan norma. Sebuah aturan atau norma hanya dapat dianggap sah apabila memenuhi prinsip-prinsip ‘universalisasi’. Sebuah norma tidak dapat dianggap sebagai ungkapan kepentingan bersama hanya karena tampak mudah diterima bagi sebagian dari mereka dalam kondisi bahwa hal itu dapat diterapkan dalam kebiasaan non diskriminatif. Pada masa kini terdapat tren bahwa pembentukan norma juga merupakan peran dari aktor non negara, perkembangan yang berpengaruh krusial terhadap bidang-bidang seperti perubahan iklim dan hukum kriminal internasional. Aturan hukum dan norma-norma berevolusi melalui proses komunikasi yang terdistorsi.