REALISME
a.
Realisme
Klasik
Realisme merupakan salah satu faham dalam hubungan
internasional yang percaya bahwa satu-satunya aktor yang paling penting dalam
hubungan internasional adalah negara. Ada 3 aktor realisme klasik yang paling
dikenal. Yaitu Thucydides, Machiavelli dan Hobbes. Pada dasarnya, realisme klasik menawarkan konsep raison d’etat (state excuse), dimana negara memiliki dalih untuk
melindungi negaranya (Sebagaimana doktrin militer pre-emptative strike AS pasca
containment Perang Dingin). Hal ini muncul dari asumsi bahwa lingkungan
internasional tidak ada yang ‘superior,’ tidak ada satu-satunya kekuatan yang
lebih tinggi yang dapat mengatur seluruh penduduk dunia. Sementara tiap negara
akan selalu berusaha memaksimalkan kepentingan nasionalnya masing-masing (high
plitics, n.d.).
Realis klasik
berpendapat bahwa pemimpin negara dapat dikritik apabila pemimpin negara
tersebut melakukan kegagalan dalam menjalankan sistem internasional terutama
saat gagal memelihara ketertiban internasional. Sedangkan Waltz menyatakan
bahwa kepentingan besar dalam sistem dan manajemen mereka bukan saja sesuatu
yang menjanjikan tetapi juga sesuatu yang bermanfaat. Waltz mengganggap itu
semua sebagai “ought to be”.
Thucydides menekankan bahwa pilihan-pilihan terbatas
dan ruang manuver yang tersedia bagi warganegaranya, keputusan memiliki
konsekuensi, serta etika kehati-hatian dan kebijaksanaan dalam menjalankan
kebijakan luar negeri dalam dunia internasional (Robert Jackson & Sorensen
: 92-93). Dalam pembahasannya, Thucydides memberikan contoh tentang sikap Atena
dalam perang Peloponesian. Atena membuat pertimbangan berdasarkan prinsip
keadilan yang bagi mereka berarti bahwa kehormatan dan martabatnya sebagai
negara yang bebas harus dihargai oleh bangsa Athena yang kuat.
Kemudian, realisme klasik menurut ajaran Machiavelli
adalah terdapat dua hal penting dalam melaksanakan kebijakan luar negeri. Yaitu
fox and lion. Fox sebagai penipuan serta lion
sebagai kekuasaan. Pada dasarnya, penguasa harus menjadi seekor singa yang
cerdik dan kejam dalam mengejar kepentingan dirinya, seperti rubah. Sedangkan
menurut Hobbes, pada dasarnya ada jalan disetiap permasalahan untuk menuju
manusia yang lebih beradab, yaitu melalui pemeliharaan negara yang berdaulat.
Inti dari ajaran realisme klasik ini adalah ia
selalu ambisius untuk menggapai semua kepentingannya. Akan tetapi, ia juga
masih memiliki kelembutan atau kehati-hatian dalam menjalankannya dengan selalu
memikirkan segala konsekuensi yang akan terjadi dalam menentukan suatu
keputusan.
b.
Realisme
Neoklasik
Salah satu tokoh neorealisme klasik adalah
Morgenthau. Menurutnya, manusia itu pada dasarnya merupakan binatang politik
yang selalu memperebutkan kekuasaan. Kemudian, ia juga mengatakan bahwa “kalau
sebuah negara ingin lepas dari intervensi negara lain, maka ia harus
mengerahkan dan menyebarkan kekuatannya. Adapun konsep kenegaraan realis
neoklasik menurut pandangan Morgenthau adalah sebagai berikut :
Sifat
manusia (kondisi dasar) => animus dominandi serta mementingkan diri sendiri
Situasi
politik => politik kekuasaan, kekuatan politik, lingkungan politik serta keahlian
politik
Pelaksanaan
politik => etika politik, kebutuhan manusia, kepentingan nasional serta
perimbangan kekuatan
Contoh dalam realisme klasik adalah pada masa
Woodrow Wilson. Ia percaya bahwa bagi etika politik selaras dengan etika
pribadi. Dalam pidatonya, ia juga mengatakan bahwa ia dapat melihat permulaan
suatu jaman di mana akan ditegaskan bahwa standar yang sama mengenai sikap dan
tanggung jawab bagi suatu ketidak adilan akan dipatuhhi diantara bangsa-bangsa
dan pemerintahannya yang dipatuhi diantara warrganegara individual dari
negara-negara beradab. Kebijakan tersebut dapat dikatakan sebagai kebijakan
yang sangat kacau dan dengan demikian akan menyatakan kegagalan moral sebab
para pemimpin politik memikul tanggung jawab yang sangat berat bagi keamanan
dan kesejahteraan negara dan rakyatnya.
c.
Neo
realisme
Kenneth Waltz merupakan salah tokoh neorealisme yang
terkemuka. Seperti halnya, Morgenthau yang mengambil titik awal pemikiran
Thucydides, Machiavelli dan Hobbes. Waltz juga menjadikan dasar pemikiran
realisme klasik dan realisme klasik sebagai dasar pemikiran dari neo realisme.
Fokus inti dari pandangan neorealis adalah struktur sistem, unit-unit yang
berinteraksi, serta kesinambungan dan perubahan sistem. Kalau dalam realisme
klasik, para pemimpin negara dan penilaian subjektifitasnya tentang hubungan
internasional merupakan pusat perhatiannya, neorealisme justru berpandangan
sebaliknya. Ia melihat bahwa struktur sistem , khususnya distribusi kekuatan
relatif merupakan fokus analisis utama. Aktor-aktor dirasa kurang penting,
karena struktur memaksa mereka untuk beraksi dengan cara-cara tertentu. Pada
akhirnya struktur merupakan sebuah dasar untuk menentukan tindakan. Sistem
bipolar dan superior dri sistem multipolar sebab menyediakan stabilitas
internasional yang lebih besar dan oleh
karena itu, perdamaian dan keamanan yang lebih besar. Contoh dari neorealis ini
bisa kita lihat pada masa perang dingin. Kemudian, pada dasarnya hubungan
internasional adalah struktur anarki yang tersebar diantara negara-negara.
Pertimbangan kekuatan diantara negara-negara dapat dicapai, tetapi perang
selalu menjadi kemungkinan dalam sistem yang anarkis.
LIBERALISME
Asumsi dasar dari liberalisme adalah keyakinan
terhadap kemajuan. Meskipun sebenarnya masih menjadi perdebatan dikalangan kaum
liberal itu sendiri. setelah perang dunia kedua, dengan demikian, optimisme
liberal telah berbubah drastis. Menurut John Locke, negara muncul untuk
menjamin kebebasan warga negaranya dan kemudian mengijinkan mereka menghidupi kehidupannya
dan menggapai kebahagiaannya tanpa campur tangan tak semestinya dari orang
lain. Kaum liberal mengatakan bahwa modernisasi adalah proses yang menimbulkan
kemajuan dalam banyak bidang kehidupan. Potensi akan pikiran dan rasionalitas
manusia adalah salah satu hal yang diyakini oleh liberalis. Modernitas
membentuk kehidupan yang lebih baik, bebas dari pemerintahan otoriter, dan
tingkat kesejahteraan material yang jauh lebih tinggi (Jackson & Sorensen,
2005:140). Agenda utama dari liberalisme adalah sosial ekonomi dan
kesejahteraan[1].
Pasca perang dunia ke dua, ada empat aliran pemikiran utama liberalisme.
Yaitu, liberalisme sosiologis, liberalisme interdependensi, liberalisme
institusional serta liberalisme republikan.
Liberalisme
sosiologis
Dalam paham liberalisme sosiologis, hubungan
internaisonal merupakan sebuah hubungan-hubungan transnasional, baik itu
hubungan antara masyarakat, kelompok-kelompok, dan organiasi-organisasi yang
berasal dari negara yang berbeda. Pemahaman ini lebih mengedepankan pada
hubungan antara rakyatnya. Karena ia berpendapat bahwa hubungan antar rakyat
lebih kooperatif dan lebih mendukung perdamaian dari pada hubungan antara
pemerintah nasional. Kemudian ia juga mengatakan bahwa hubungan transnasional
diantara rakyat dari negara-negara yang berbeda membantu menciptakan bentuk
masyarakat manusia yang hadir sepanjang atau bahkan dalam persaingan dengan
bangsa.
Burton, menggambarkan jaringan laba-laba untuk
menunjukkan bahwa kerjasama yang dilakukan itu saling menguntungkan dan
antagonistik.
Liberalisme
interdependensi
Seperti yang kita ketahui bahwa interdependensi
merupakan ketergantungan timbal balik, rakyat dan pemerintah dipengaruhi oleh
apa yang terjadi dimanapun, oleh tindakan rekannya di negara lain. Maka dari
itu, tingkat hubungan yang paling banyak terjadi adalah hubungan
interdependensi.
Sepanjang sejarah, negara berupaya mencari kekuasaan
dengan alat militer dan perluasan wilayah. Tetapi bagi negara-negara
industrialis pembangunan ekonomi dan perdagangan luar negeri adalah alat-alat
dalam mencapai keunggulan dan kesejahteraan yang lebih mencukupi dan dengan
sedikit biaya. Kemudian, pembagian tenaga kerja yang tinggi dalam perekonomian
internasional meningkatkan interdependensi antara negara, dan hal itu menekan
dan mengurangi konflik kekerasan antar negara. Akan tetapi, masih tetap ada
resiko bahwa negara modern tergelincir kembali ke pilihan militer dan memasuki
konfrontasi kekerasan.
Liberalisme
institusional
Dalam pembahasan ini, erat kaitannya dengan
pernyataan Woodrow Wilson yang ingin mengubah hubungan internasional dari hutan
politik kekuasaan yang kacau menuju kebun binatang pergaulan yang erat diatur
dan damai. Bagaimanapun juga, kaum liberal institusional tidak sepakat dengan
pandangan kaum realis bahwa institusi internasional hanyalah secarik kertas,
dan bahwa mereka berada dalam belas kasihan sepenuhnya negara kuat. Akan tetapi
mereka juga merupakan kepentingan yang independen dan mereka dapat memajukan
kerjasama antara negara-negara.
Secara ringkas, institusional membantu memajukan
kerjasama antara negara-negara dan oleh karena itu membantu mengurangi
kepercayaan negara-negara dan rasa takut negara satu sama lain yang dianggap
jadi masalah tradisional yang dikaitkan dengan anarki internasional.
Liberalisme
Republikan
Liberalisme republikan berupan bentukan dari sebuah
pernyataan bahwa negara-negara demokrasi liberal bersifat lebih damai dan patuh
pada hukum dibandingkan sistem politik lain.
Dalam hal ini, bukan berarti negara-negara demokrasi
tidak pernah berperang. Akan tetapi negara-negara demokrasi berperang sesering
negara-negara non demokrasi. Pendapat dari liberalisme republikan ini terlalu
mengagung-agungkan demokrasi. Ia selalu menganggap bahwa demokrasi itu
merupakan satu sistem yang paling baik yang tidak akan pernah perang sama
sekali. Bahkan dengan adanya demokrasi justru kerjasama ekonomi dan
interdependensi antar negara akan
semakin kuat.
Dalam pembahasan liberalisme ini memang pada
dasarnya lebih terfokus pada bidang ekonomi. Apalagi sejak pasca perang dunia
dua. Neoliberalisme adalah suatu perwujudan baru dari paham liberalisme yang
saat ini telah menguasai sistem perekonomian dunia. Paham ini merupakan suatu
sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme, di mana kebebasan individu lebih
diutamakan dan tanpa campur tangan dari pemerintah. Yang menjadi penentu utama
dalam kegiatan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah.
KONSTRUKTIVISME
Konstruktivisme merupakan sebuah faham penengah yang
mencari sebuah solusi dari perdebatan berbagai faham lainnya.
Sorensen menyebutkan dalam bukunya “Pengantar Studi
Hubungan Internasional” bahwa konstruktivis lebih menekankan pada peran suatu
pemikiran dan persatuan bersama atas dunia sosial. Hal ini menunjukkan bahwa
sistem anarki dalam sebuah negara juga merupakan konstruksi manusia dimana
tatanan tersebut dibentuk oleh masyarakatnya sendiri[2].
Dengan adanya sistem anarki tersebut, manusia juga ditugaskan untuk
menganalisis pembahasan dari sisi dubjektif dan juga melalui aktor-aktor yang
berperan dalam dunia politik. Alexander Wendt juga mengatakan bahwa
konstruktivis melihat adanya sistem anarki tergantung pada interaksi antar
aktor dan pola hubungan internasional diantara mereka (Trisca Mia;2013). Ia
juga mengatakan bahwa identitas sebuah negara didasarkan pada kepentingan
negara-negara tersebut.
Kemudian dalam tulisan Cecep Zakaria El Bilad yang
berjudul Konstruktivisme Hubungan
Internasional : Meretas Jalan Damai Perdebatan Antar Paradigma menyebutkan
bahwa konstruktivisme meyakini signifikansi struktur ideasonal dalam sistem
internasional. Ia juga mengangkat drajat subjek atau agen dari keterpurukannya
selama ini akibat hegemoni struktur (Cecep Zakaria; n.d.)
Pandangan ontologis konstruktivis terhadap fenomena
adalah sebagai berikut :
Dengan meletakkan agen pada posisi sejajar dengan
struktur-bahkan pada konteks bahwa agen adalah ‘pencipta’ struktur, posisi agen
lebih tinggi dari pada struktur- konstruktivis ingin membuka kemungkinan-kemungkinan
transformasi struktur oleh agen (Guzzini and Leander;2006-8).
Begitupun dalam kebijakan luar negeri, pada dasarnya
konstruktivisme melihat terlebih dulu fenomena sosial secara subjektif. Karena
pada dasarnya, menurut Cecep konstruktivisme tersebut bukanlah teori akan
tetapi sebuah filsafat ilmu. Ia menawarkan gagasan alternatif tentang apa isi
dunia hubungan internasional dan bagaimana cara mengkajinya, sehingga menajdi
rival terbaru bagi rasionalisme, positivisme, aliran filosofis yang dianut oleh
neorealis dan neoliberal. Namun perkembangan pada 1990an menunjukkan upaya para
pengusung konstruktivisme dalam Hubungan Internasional untuk merangkai
teori-teori substantif.
Referensi
Robert Jackson
& Sorensen (2005) Pengantar Hubungan
Internasinoal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 9-120.
Donald (2012)
Teori Hubungan Internasional Liberalisme. Available from: http://ddonaldd-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-44349-Umum-Jurnal%203THI.html
diakses pada tanggal 26 Oktober 2013.
Trisca Mia
Elistifani (2013) Konstruktivisme. Available from : http://triscamiaa-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-82521-Teori%20Hubungan%20Internasional-Konstruktivisme.html
diakses pada 03 November 2013.
Cecep Zakarias
El Bilad (n.d.) Konstruktivisme Hubungan Internasional: Meretas Jalan Damai
Perdebatan Antar Paradigma [PDF]. Available from : http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jshi/article/viewFile/1121/1213 diakses pada tanggal 06 November 2013.
[1]
Donald (2012) Teori Hubungan Internasional Liberalisme. Available from: http://ddonaldd-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-44349-Umum-Jurnal%203THI.html
diakses pada tanggal 26 Oktober 2013.
[2]
Trisca Mia Elistifani (2013) Konstruktivisme. Available from : http://triscamiaa-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-82521-Teori%20Hubungan%20Internasional-Konstruktivisme.html
diakses pada 03 November 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar