Senin, 02 Juni 2014

Review Realisme, Liberalisme, Konstruktivisme

REALISME

a.      Realisme Klasik
Realisme merupakan salah satu faham dalam hubungan internasional yang percaya bahwa satu-satunya aktor yang paling penting dalam hubungan internasional adalah negara. Ada 3 aktor realisme klasik yang paling dikenal. Yaitu Thucydides, Machiavelli dan Hobbes.  Pada dasarnya, realisme klasik  menawarkan konsep raison d’etat (state excuse), dimana negara memiliki dalih untuk melindungi negaranya (Sebagaimana doktrin militer pre-emptative strike AS pasca containment Perang Dingin). Hal ini muncul dari asumsi bahwa lingkungan internasional tidak ada yang ‘superior,’ tidak ada satu-satunya kekuatan yang lebih tinggi yang dapat mengatur seluruh penduduk dunia. Sementara tiap negara akan selalu berusaha memaksimalkan kepentingan nasionalnya masing-masing (high plitics, n.d.).
Realis klasik berpendapat bahwa pemimpin negara dapat dikritik apabila pemimpin negara tersebut melakukan kegagalan dalam menjalankan sistem internasional terutama saat gagal memelihara ketertiban internasional. Sedangkan Waltz menyatakan bahwa kepentingan besar dalam sistem dan manajemen mereka bukan saja sesuatu yang menjanjikan tetapi juga sesuatu yang bermanfaat. Waltz mengganggap itu semua sebagai “ought to be”.
Thucydides menekankan bahwa pilihan-pilihan terbatas dan ruang manuver yang tersedia bagi warganegaranya, keputusan memiliki konsekuensi, serta etika kehati-hatian dan kebijaksanaan dalam menjalankan kebijakan luar negeri dalam dunia internasional (Robert Jackson & Sorensen : 92-93). Dalam pembahasannya, Thucydides memberikan contoh tentang sikap Atena dalam perang Peloponesian. Atena membuat pertimbangan berdasarkan prinsip keadilan yang bagi mereka berarti bahwa kehormatan dan martabatnya sebagai negara yang bebas harus dihargai oleh bangsa Athena yang kuat.
Kemudian, realisme klasik menurut ajaran Machiavelli adalah terdapat dua hal penting dalam melaksanakan kebijakan luar negeri. Yaitu fox and lion. Fox sebagai penipuan serta lion sebagai kekuasaan. Pada dasarnya, penguasa harus menjadi seekor singa yang cerdik dan kejam dalam mengejar kepentingan dirinya, seperti rubah. Sedangkan menurut Hobbes, pada dasarnya ada jalan disetiap permasalahan untuk menuju manusia yang lebih beradab, yaitu melalui pemeliharaan negara yang berdaulat.
Inti dari ajaran realisme klasik ini adalah ia selalu ambisius untuk menggapai semua kepentingannya. Akan tetapi, ia juga masih memiliki kelembutan atau kehati-hatian dalam menjalankannya dengan selalu memikirkan segala konsekuensi yang akan terjadi dalam menentukan suatu keputusan.
b.      Realisme Neoklasik
Salah satu tokoh neorealisme klasik adalah Morgenthau. Menurutnya, manusia itu pada dasarnya merupakan binatang politik yang selalu memperebutkan kekuasaan. Kemudian, ia juga mengatakan bahwa “kalau sebuah negara ingin lepas dari intervensi negara lain, maka ia harus mengerahkan dan menyebarkan kekuatannya. Adapun konsep kenegaraan realis neoklasik menurut pandangan Morgenthau adalah sebagai berikut :
Sifat manusia (kondisi dasar) => animus dominandi serta mementingkan diri sendiri
Situasi politik => politik kekuasaan, kekuatan politik, lingkungan politik serta keahlian politik
Pelaksanaan politik => etika politik, kebutuhan manusia, kepentingan nasional serta perimbangan kekuatan
Contoh dalam realisme klasik adalah pada masa Woodrow Wilson. Ia percaya bahwa bagi etika politik selaras dengan etika pribadi. Dalam pidatonya, ia juga mengatakan bahwa ia dapat melihat permulaan suatu jaman di mana akan ditegaskan bahwa standar yang sama mengenai sikap dan tanggung jawab bagi suatu ketidak adilan akan dipatuhhi diantara bangsa-bangsa dan pemerintahannya yang dipatuhi diantara warrganegara individual dari negara-negara beradab. Kebijakan tersebut dapat dikatakan sebagai kebijakan yang sangat kacau dan dengan demikian akan menyatakan kegagalan moral sebab para pemimpin politik memikul tanggung jawab yang sangat berat bagi keamanan dan kesejahteraan negara dan rakyatnya.
c.       Neo realisme
Kenneth Waltz merupakan salah tokoh neorealisme yang terkemuka. Seperti halnya, Morgenthau yang mengambil titik awal pemikiran Thucydides, Machiavelli dan Hobbes. Waltz juga menjadikan dasar pemikiran realisme klasik dan realisme klasik sebagai dasar pemikiran dari neo realisme. Fokus inti dari pandangan neorealis adalah struktur sistem, unit-unit yang berinteraksi, serta kesinambungan dan perubahan sistem. Kalau dalam realisme klasik, para pemimpin negara dan penilaian subjektifitasnya tentang hubungan internasional merupakan pusat perhatiannya, neorealisme justru berpandangan sebaliknya. Ia melihat bahwa struktur sistem , khususnya distribusi kekuatan relatif merupakan fokus analisis utama. Aktor-aktor dirasa kurang penting, karena struktur memaksa mereka untuk beraksi dengan cara-cara tertentu. Pada akhirnya struktur merupakan sebuah dasar untuk menentukan tindakan. Sistem bipolar dan superior dri sistem multipolar sebab menyediakan stabilitas internasional yang  lebih besar dan oleh karena itu, perdamaian dan keamanan yang lebih besar. Contoh dari neorealis ini bisa kita lihat pada masa perang dingin. Kemudian, pada dasarnya hubungan internasional adalah struktur anarki yang tersebar diantara negara-negara. Pertimbangan kekuatan diantara negara-negara dapat dicapai, tetapi perang selalu menjadi kemungkinan dalam sistem yang anarkis.

LIBERALISME
Asumsi dasar dari liberalisme adalah keyakinan terhadap kemajuan. Meskipun sebenarnya masih menjadi perdebatan dikalangan kaum liberal itu sendiri. setelah perang dunia kedua, dengan demikian, optimisme liberal telah berbubah drastis. Menurut John Locke, negara muncul untuk menjamin kebebasan warga negaranya dan kemudian mengijinkan mereka menghidupi kehidupannya dan menggapai kebahagiaannya tanpa campur tangan tak semestinya dari orang lain. Kaum liberal mengatakan bahwa modernisasi adalah proses yang menimbulkan kemajuan dalam banyak bidang kehidupan. Potensi akan pikiran dan rasionalitas manusia adalah salah satu hal yang diyakini oleh liberalis. Modernitas membentuk kehidupan yang lebih baik, bebas dari pemerintahan otoriter, dan tingkat kesejahteraan material yang jauh lebih tinggi (Jackson & Sorensen, 2005:140). Agenda utama dari liberalisme adalah sosial ekonomi dan kesejahteraan[1].
Pasca perang dunia ke dua,  ada empat aliran pemikiran utama liberalisme. Yaitu, liberalisme sosiologis, liberalisme interdependensi, liberalisme institusional serta liberalisme republikan.
Liberalisme sosiologis
Dalam paham liberalisme sosiologis, hubungan internaisonal merupakan sebuah hubungan-hubungan transnasional, baik itu hubungan antara masyarakat, kelompok-kelompok, dan organiasi-organisasi yang berasal dari negara yang berbeda. Pemahaman ini lebih mengedepankan pada hubungan antara rakyatnya. Karena ia berpendapat bahwa hubungan antar rakyat lebih kooperatif dan lebih mendukung perdamaian dari pada hubungan antara pemerintah nasional. Kemudian ia juga mengatakan bahwa hubungan transnasional diantara rakyat dari negara-negara yang berbeda membantu menciptakan bentuk masyarakat manusia yang hadir sepanjang atau bahkan dalam persaingan dengan bangsa.
Burton, menggambarkan jaringan laba-laba untuk menunjukkan bahwa kerjasama yang dilakukan itu saling menguntungkan dan antagonistik.
Liberalisme interdependensi
Seperti yang kita ketahui bahwa interdependensi merupakan ketergantungan timbal balik, rakyat dan pemerintah dipengaruhi oleh apa yang terjadi dimanapun, oleh tindakan rekannya di negara lain. Maka dari itu, tingkat hubungan yang paling banyak terjadi adalah hubungan interdependensi.
Sepanjang sejarah, negara berupaya mencari kekuasaan dengan alat militer dan perluasan wilayah. Tetapi bagi negara-negara industrialis pembangunan ekonomi dan perdagangan luar negeri adalah alat-alat dalam mencapai keunggulan dan kesejahteraan yang lebih mencukupi dan dengan sedikit biaya. Kemudian, pembagian tenaga kerja yang tinggi dalam perekonomian internasional meningkatkan interdependensi antara negara, dan hal itu menekan dan mengurangi konflik kekerasan antar negara. Akan tetapi, masih tetap ada resiko bahwa negara modern tergelincir kembali ke pilihan militer dan memasuki konfrontasi kekerasan.
Liberalisme institusional
Dalam pembahasan ini, erat kaitannya dengan pernyataan Woodrow Wilson yang ingin mengubah hubungan internasional dari hutan politik kekuasaan yang kacau menuju kebun binatang pergaulan yang erat diatur dan damai. Bagaimanapun juga, kaum liberal institusional tidak sepakat dengan pandangan kaum realis bahwa institusi internasional hanyalah secarik kertas, dan bahwa mereka berada dalam belas kasihan sepenuhnya negara kuat. Akan tetapi mereka juga merupakan kepentingan yang independen dan mereka dapat memajukan kerjasama antara negara-negara.
Secara ringkas, institusional membantu memajukan kerjasama antara negara-negara dan oleh karena itu membantu mengurangi kepercayaan negara-negara dan rasa takut negara satu sama lain yang dianggap jadi masalah tradisional yang dikaitkan dengan anarki internasional.
Liberalisme Republikan
Liberalisme republikan berupan bentukan dari sebuah pernyataan bahwa negara-negara demokrasi liberal bersifat lebih damai dan patuh pada hukum dibandingkan sistem politik lain.
Dalam hal ini, bukan berarti negara-negara demokrasi tidak pernah berperang. Akan tetapi negara-negara demokrasi berperang sesering negara-negara non demokrasi. Pendapat dari liberalisme republikan ini terlalu mengagung-agungkan demokrasi. Ia selalu menganggap bahwa demokrasi itu merupakan satu sistem yang paling baik yang tidak akan pernah perang sama sekali. Bahkan dengan adanya demokrasi justru kerjasama ekonomi dan interdependensi  antar negara akan semakin kuat.
Dalam pembahasan liberalisme ini memang pada dasarnya lebih terfokus pada bidang ekonomi. Apalagi sejak pasca perang dunia dua. Neoliberalisme adalah suatu perwujudan baru dari paham liberalisme yang saat ini telah menguasai sistem perekonomian dunia. Paham ini merupakan suatu sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme, di mana kebebasan individu lebih diutamakan dan tanpa campur tangan dari pemerintah. Yang menjadi penentu utama dalam kegiatan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah.

KONSTRUKTIVISME
Konstruktivisme merupakan sebuah faham penengah yang mencari sebuah solusi dari perdebatan berbagai faham lainnya.
Sorensen menyebutkan dalam bukunya “Pengantar Studi Hubungan Internasional” bahwa konstruktivis lebih menekankan pada peran suatu pemikiran dan persatuan bersama atas dunia sosial. Hal ini menunjukkan bahwa sistem anarki dalam sebuah negara juga merupakan konstruksi manusia dimana tatanan tersebut dibentuk oleh masyarakatnya sendiri[2]. Dengan adanya sistem anarki tersebut, manusia juga ditugaskan untuk menganalisis pembahasan dari sisi dubjektif dan juga melalui aktor-aktor yang berperan dalam dunia politik. Alexander Wendt juga mengatakan bahwa konstruktivis melihat adanya sistem anarki tergantung pada interaksi antar aktor dan pola hubungan internasional diantara mereka (Trisca Mia;2013). Ia juga mengatakan bahwa identitas sebuah negara didasarkan pada kepentingan negara-negara tersebut.
Kemudian dalam tulisan Cecep Zakaria El Bilad yang berjudul Konstruktivisme Hubungan Internasional : Meretas Jalan Damai Perdebatan Antar Paradigma menyebutkan bahwa konstruktivisme meyakini signifikansi struktur ideasonal dalam sistem internasional. Ia juga mengangkat drajat subjek atau agen dari keterpurukannya selama ini akibat hegemoni struktur (Cecep Zakaria; n.d.)
Pandangan ontologis konstruktivis terhadap fenomena adalah sebagai berikut :
Dengan meletakkan agen pada posisi sejajar dengan struktur-bahkan pada konteks bahwa agen adalah ‘pencipta’ struktur, posisi agen lebih tinggi dari pada struktur- konstruktivis ingin membuka kemungkinan-kemungkinan transformasi struktur oleh agen (Guzzini and Leander;2006-8).
Begitupun dalam kebijakan luar negeri, pada dasarnya konstruktivisme melihat terlebih dulu fenomena sosial secara subjektif. Karena pada dasarnya, menurut Cecep konstruktivisme tersebut bukanlah teori akan tetapi sebuah filsafat ilmu. Ia menawarkan gagasan alternatif tentang apa isi dunia hubungan internasional dan bagaimana cara mengkajinya, sehingga menajdi rival terbaru bagi rasionalisme, positivisme, aliran filosofis yang dianut oleh neorealis dan neoliberal. Namun perkembangan pada 1990an menunjukkan upaya para pengusung konstruktivisme dalam Hubungan Internasional untuk merangkai teori-teori substantif.



Referensi
Robert Jackson & Sorensen (2005) Pengantar Hubungan Internasinoal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 9-120.
Donald (2012) Teori Hubungan Internasional Liberalisme. Available from: http://ddonaldd-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-44349-Umum-Jurnal%203THI.html diakses pada tanggal 26 Oktober 2013.
Trisca Mia Elistifani (2013) Konstruktivisme. Available from : http://triscamiaa-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-82521-Teori%20Hubungan%20Internasional-Konstruktivisme.html diakses pada 03 November 2013.
Cecep Zakarias El Bilad (n.d.) Konstruktivisme Hubungan Internasional: Meretas Jalan Damai Perdebatan Antar Paradigma [PDF]. Available from : http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jshi/article/viewFile/1121/1213 diakses pada tanggal 06 November 2013.



[1] Donald (2012) Teori Hubungan Internasional Liberalisme. Available from: http://ddonaldd-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-44349-Umum-Jurnal%203THI.html diakses pada tanggal 26 Oktober 2013.
[2] Trisca Mia Elistifani (2013) Konstruktivisme. Available from : http://triscamiaa-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-82521-Teori%20Hubungan%20Internasional-Konstruktivisme.html diakses pada 03 November 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar