Sabtu, 14 Juli 2012

KONFLIK BUDAYA TIONGHOA DAN PENGARUHNYA BAGI INDONESIA



Sebelum mencari tahu lebih lanjut tentang konflik budaya atau perang budaya, alangkah lebih baiknya apabila tahu terlebih dahulu tentang arti dari budayanya itu sendiri. Menurut koentjoroningrat (salah seorang antropolog), budaya berasal dari bahasa sansekerta. Yaitu buddhayah atau bentuk jamak dari budhi atau budi dan akal[1].
Kemudian perang budaya atau yang biasa disebut dengan konflik budaya adalah sebuah konflik atau permasalahan yang disebabkan oleh sebuah budaya, yang mungkin malah menjadi kontroversi bagi masyarakat disekitarnya.
Di abad-abad lampau, dan khususnya selama dasawarsa terakhir, banyak perhatian diberikan kepada Tiongkok dan statusnya yang melesat sebagai kekuatan ekonomi dunia. Penelitian para sarjana tentang orang Tionghoa perantauan berperan pula dalam membuka wawasan tentang hubungan mereka dengan "tanah air bayangan" atau "mythic homeland", Tiongkok.[2]
Meskipun telah banyak perhatian diberikan kepada orang Tionghoa di Indonesia, para sarjana belum secara khusus meneliti dari kaca mata media, bagaimana sekelompok orang Indonesia Tionghoa tumbuh di lingkungan media dan budaya yang terkekang selama 33 tahun.
Banyak pula sejarawan yang banyak berbicara tentang Budaya Tionghoa,terutama di Indonesia.Sebutsaja Denys Lombard. Selain itu,jika ditilik lagi,ternyata Budaya Tionghoa di Indonesia berpengaruh terhadap Indonesia.
Pengaruh kebudayaan itu tersebar mulai gaya bangunan, pakaian, bahasa bahkan sampai makanan. Banyak pengaruh budaya Tionghoa yang diadopsi penduduk Nusantara. Meski kadarnya berbeda-beda, seni musik, seni pertunjukan, arsitektur, dan sebagainya hampir semua ada pengaruh Tionghoanya. Tradisi pis bolong di Bali yang digunakan sebagai sesaji merupakan pengaruh budaya Tionghoa. Beberapa pola arsitektur di Bali juga terpengaruh budaya Tionghoa. Bahkan senilukis Bali pun terpengaruh seni lukis Tionghoa. Seni tari Bali pun menyerap budaya Tionghoa, sehingga lahir kreasi tari yang akhirnya menjadi tari sakral, seperti Tari Baris Cina. Selain dari namanya, terlihat dari gerakan dan tata busana yang lain dibandingkan dengan tarian Bali umumnya. Gerakan Tari Baris Cina  ini lebih menyerupai kung fu. Hampir tak ada gerak dasar tari Bali dalam tarian itu. Busana penarinya unik. Mereka mengenakan setelan celana panjang dan baju berlengan panjang dan berselempang kain. Sebagai penutup kepala, mereka mengenakan topi bundar. Senjata yang dibawanya bukan keris, melainkan pedang. Tari baris Cina ditarikan oleh 18 laki-laki yang dibagi atas dua kelompok. Sembilan orang baris putih, dan sembilan orang baris selem (hitam). Keduanya melambangkan rwa bhineda yaitu dua kutub berseberangan yang selalu ada di alam semesta ini. Dalam terminologi Thionghoa disebut dengan Yin-Yang.Tarian Baris Cina menjadi tarian sakral di Pura Dadia Banjar Kelod (Renon), Pura Mertasari Belanjong (Sanur), Pura Segara (Sanur), Pura Gerua Delod Peken-Intaran (Sanur), dan Pura Petitenget (Kuta). Dalam kosa kata sehari-hari banyak istilah China yang sudah dianggap ‘punyanya’ orang Betawi. Padahal bukan. Seperti sebutan bilangan cepek (100), gopek (500), seceng (1000), atau panggilan engkong (kakek), sebutan Wa (yang diserap menjadi Gua, saya), dan Lu (kamu). Kata-kata sebutan itu identik sekali dengan bahasa Betawai. Menurut sejarawan, hal itu karena memang jaman dahulu orang-orang Betawi dan China sudah bersosialisasi, baik sebagai teman,sahabat, relasi bisnis atau hubungan pembantu-majikan.[3] Hal tersebut hanyalah merupakan salah satu contoh dari peleburan budaya betawi (budaya Indonesia) dan budaya Tionghoa (Cina). Sebenarnya bukan hanya di betawi budaya Tionghoa memengaruhi, tapi juga pada kebudayaan Palembang, dan sebagainya. Akan tetapi, yang paling dominan terlihat adalah pada kebudayaan betawi dikarenakan betawi adalah pusat Negara Indonesia.
            Masuknya kebudayaan di Indonesia ini pada awalnya adalah bermula dari perdagangan atau dengan kata lain masuk melalui jalan damai, berbeda dengan masuknya bangsa barat ke Indonesia yang dengan menggunakan jalan kekerasan. Oleh sebab itu lah, secara tidak sadar, Indonesia pada akhirnya telah menerima begitu saja kebudayaan Tionghoa. Padahal, secara tidak langsung maupun langsung, sadar maupun tidak sadar sesungguhnya kebudayaan Indonesia sedang berada pada tahap culture war.
            Pertanyaannya sekarang adalah apakah culture war ini menguntungkan untuk Indonesia apakah justru sebaliknya ? Bila kita analisis lebih dalam, maka kita akan menyadari bahwa segala sesuatu itu memiliki dua sisi, layaknya sebuah koin, di satu sisi ia memiliki kebaikan, di sisi lain ia tentunya memiliki dampak negative.
            Dampak positif dengan masuknya budaya Tionghoa di Indonesia ialah hal ini dapat memperkaya kebudayaan bangsa Indonesia itu sendiri. Selain itu, kebudayaan bangsa Tionghoa memiliki berbagai dampak positif untuk Indonesia. Sebagai contoh silat yang dipelajari orang betawi secara turun-temurun yang pada dasarnya merupakan kebudayaan Tionghoa. Tidak hanya itu, sikap pemberani orang betawi juga merupakan hasil peleburan budaya Tionghoa. Telah jelas bahwa masuknya kebudayaan bangsa Tionghoa juga membawa dampak positif untuk bangsa Indonesia itu sendiri.
            Dampak negatifnya adalah dengan masuknya kebudayaan Tionghoa ke Indonesia menyebabkan mudahnya kebudayaan Cina masuk ke Indonesia. Mungkin sedikit terkesan mengada-ada, tapi hal ini akan sangat terasa setelah banyaknya import barang dari Cina ke Indonesia. Contoh sederhana adalah ketika kebudayaan Tionghoa telah begitu menyatu, maka pada hari-hari besar Tionghoa, orang-orang Tionghoa yang notabanenya berkewarganegaraan Indonesia mungkin akan merindukan kebudayaan asli mereka dari Cina dan akan berusaha untuk menapatkannya dari impor. Selain itu, tanpa kita sadari, maka kebudayaan kita akan kian tergerus. Hal yang paling sederhana yang mungkin tidak kita sadari adalah penggunaan kata GUE atau LU yang pada dasarnya adalah kosa kata Tionghoa. Penggunaan kosa kata ini merupakan bahasa gaul bagi anak-anak muda, dan tanpa sadar mereka lupa untuk menggunakan bahasa-bahasa yang seharusnya mereka lestarikan.
Kekayaan budaya Tionghoa adalah berkah yang menjadi inspirasi bagi seniman lokal. Bahkan beberapa khasanah kebudayaan Tionghoa di Nusantara tidak akan dijumpai di Tiongkok sana. Sebut saja tradisi membuat kue keranjang. Nian Gao atau lebih sering disebut kue keranjang (tii kwee) adalah salah satu kue wajib imlek. Kue ini mendapat nama dari cetakan terbuat dari keranjang yang dipakai. Dalam cerita yang berkembang di kalangan Tionghoa, pembuatan kue ini bermula ketika Tiongkok mengalami paceklik
Sebegitu dekatnya, sehingga tanpa disadari warisan budaya itu pun melekat erat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Seperti tak ada lagi batas.
Namun demikian selalu saja ada penilaian minor terhadap etnis minoritas ini, mulai dari soal penguasaan sumberdaya ekonomi sampai dengan gaya hidup ekslusif yang dilakoni mereka. Stereotipe tentang Tionghoa yang picik, culas, dan menghalalkan segala cara untuk mencari uang pun menyebar luas di kalangan warga pribumi. Padahal, sifat yang sama juga bisa jadi dimiliki oleh komunitas etnis lainnya di negeri ini, tak terkecuali pribumi sendiri. Stigma itu tentu tidak datang dengan sendirinya di dalam benak warga non-Tionghoa. Ada proses sejarah yang melatarinya.
Peran sejarah komunitas Tionghoa, seperti dalam bidang bahasa, sastra dan pers pun dilupakan. Komunitas Tionghoa yang identik dengan kegiatan dagang dan tuduhan komunis yang dilabelkan kepada mereka pascaperistiwa G.30.S menghapus peran serta mereka pada pembangunan bangsa ini. Pandangan miring lain yang juga dilabelkan kepada komunitas Tionghoa adalah cara mereka beradaptasi dengan situasi politik yang cepat berubah. “Pada zaman Belanda mereka bersikap pro-Belanda. Pada saat Jepang menjadi tuan, mereka berkawan dengan Jepang. Kemudian datanglah revolusi dan mereka bersikap baik kepada kita. Tak aneh jika istilah “cincai” kerapkali digunakan untuk menunjukkan sikap kompromi terhadap segala sesuatu yang bisa mendatangkan untung/keselamatan.
Seperti tak puas dengan stigmatisasi, penggunaan kata “Cina” pun kerapkali digunakan dengan tujuan insinuasi terhadap komunitas Tionghoa. “Padahal istilah itu bukan lahir dari warga keturunan Tionghoa sendiri. Istilah itu baru dibawa oleh bangsa-bangsa Barat yang mulai datang ke Nusantara sejak awal Abad ke-17. Eddie lebih cenderung kepada istilah Tionghoa. “Istilah Tionghoa jauh lebih tepat untuk digunakan karena sebutan itu datang dari kalangan Tionghoa sendiri,” kata pendiri sebuah perusahaan farmasi terkemuka itu.



[1] Ahira, Anne. “Arti Budaya Menurut Pakar”. http://www.anneahira.com/arti-budaya.htm. diunduh pada hari Rabu, 18 April 2012 Pukul 12.39 WIB.
[2] Dawis,Aimee.(2008). Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas.Jakarta :Intisari
[3] Yayat Suratmo, Seni: Pengaruh Budaya Tionghoa di Betawi, http://kabarinews.com/article/Berita_Indonesia/Seni/Seni_Pengaruh_Budaya_Tionghoa_di_Betawi/33298, diunduh pada tanggal 19 April 2012 pukul 20.00 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar