Sebelum mencari tahu lebih lanjut
tentang konflik budaya atau perang budaya, alangkah lebih baiknya apabila tahu
terlebih dahulu tentang arti dari budayanya itu sendiri. Menurut
koentjoroningrat (salah seorang antropolog), budaya berasal dari bahasa
sansekerta. Yaitu buddhayah atau bentuk jamak dari budhi atau budi dan akal[1].
Kemudian perang budaya atau yang
biasa disebut dengan konflik budaya adalah sebuah konflik atau permasalahan
yang disebabkan oleh sebuah budaya, yang mungkin malah menjadi kontroversi bagi
masyarakat disekitarnya.
Di
abad-abad lampau, dan khususnya selama dasawarsa terakhir, banyak perhatian
diberikan kepada Tiongkok dan statusnya yang melesat sebagai kekuatan ekonomi
dunia. Penelitian para sarjana tentang orang Tionghoa perantauan berperan pula
dalam membuka wawasan tentang hubungan mereka dengan "tanah air
bayangan" atau "mythic homeland", Tiongkok.[2]
Meskipun
telah banyak perhatian diberikan kepada orang Tionghoa di Indonesia, para
sarjana belum secara khusus meneliti dari kaca mata media, bagaimana sekelompok
orang Indonesia Tionghoa tumbuh di lingkungan media dan budaya yang terkekang
selama 33 tahun.
Banyak pula
sejarawan yang banyak berbicara tentang Budaya Tionghoa,terutama di
Indonesia.Sebutsaja Denys Lombard. Selain itu,jika ditilik lagi,ternyata Budaya
Tionghoa di Indonesia berpengaruh terhadap Indonesia.
Pengaruh kebudayaan itu
tersebar mulai gaya bangunan, pakaian, bahasa bahkan sampai makanan. Banyak pengaruh budaya Tionghoa yang diadopsi
penduduk Nusantara. Meski kadarnya berbeda-beda, seni musik, seni pertunjukan,
arsitektur, dan sebagainya hampir semua ada pengaruh Tionghoanya. Tradisi pis
bolong di Bali yang digunakan sebagai sesaji merupakan pengaruh budaya
Tionghoa. Beberapa pola arsitektur di Bali juga terpengaruh budaya Tionghoa.
Bahkan senilukis Bali pun terpengaruh seni lukis Tionghoa. Seni tari Bali pun
menyerap budaya Tionghoa, sehingga lahir kreasi tari yang akhirnya menjadi tari
sakral, seperti Tari Baris Cina. Selain dari namanya, terlihat dari gerakan dan
tata busana yang lain dibandingkan dengan tarian Bali umumnya. Gerakan Tari
Baris Cina ini lebih menyerupai kung fu. Hampir tak ada gerak dasar tari
Bali dalam tarian itu. Busana penarinya unik. Mereka mengenakan setelan celana
panjang dan baju berlengan panjang dan berselempang kain. Sebagai penutup
kepala, mereka mengenakan topi bundar. Senjata yang dibawanya bukan keris,
melainkan pedang. Tari baris Cina ditarikan oleh 18 laki-laki yang dibagi atas
dua kelompok. Sembilan orang baris putih, dan sembilan orang baris selem
(hitam). Keduanya melambangkan rwa bhineda yaitu dua kutub berseberangan yang
selalu ada di alam semesta ini. Dalam terminologi Thionghoa disebut dengan
Yin-Yang.Tarian Baris Cina menjadi tarian sakral di Pura Dadia Banjar Kelod
(Renon), Pura Mertasari Belanjong (Sanur), Pura Segara (Sanur), Pura Gerua
Delod Peken-Intaran (Sanur), dan Pura Petitenget (Kuta). Dalam kosa kata sehari-hari banyak istilah China yang
sudah dianggap ‘punyanya’ orang Betawi. Padahal bukan. Seperti sebutan bilangan
cepek (100), gopek (500), seceng (1000), atau panggilan engkong (kakek),
sebutan Wa (yang diserap menjadi Gua, saya), dan Lu (kamu). Kata-kata sebutan
itu identik sekali dengan bahasa Betawai. Menurut sejarawan, hal itu karena
memang jaman dahulu orang-orang Betawi dan China sudah bersosialisasi, baik
sebagai teman,sahabat, relasi bisnis atau hubungan pembantu-majikan.[3] Hal tersebut hanyalah merupakan salah satu contoh dari peleburan
budaya betawi (budaya Indonesia) dan budaya Tionghoa (Cina). Sebenarnya bukan
hanya di betawi budaya Tionghoa memengaruhi, tapi juga pada kebudayaan
Palembang, dan sebagainya. Akan tetapi, yang paling dominan terlihat adalah
pada kebudayaan betawi dikarenakan betawi adalah pusat Negara Indonesia.
Masuknya
kebudayaan di Indonesia ini pada awalnya adalah bermula dari perdagangan atau
dengan kata lain masuk melalui jalan damai, berbeda dengan masuknya bangsa
barat ke Indonesia yang dengan menggunakan jalan kekerasan. Oleh sebab itu lah,
secara tidak sadar, Indonesia pada akhirnya telah menerima begitu saja
kebudayaan Tionghoa. Padahal, secara tidak langsung maupun langsung, sadar
maupun tidak sadar sesungguhnya kebudayaan Indonesia sedang berada pada tahap culture war.
Pertanyaannya
sekarang adalah apakah culture war
ini menguntungkan untuk Indonesia apakah justru sebaliknya ? Bila kita analisis
lebih dalam, maka kita akan menyadari bahwa segala sesuatu itu memiliki dua
sisi, layaknya sebuah koin, di satu sisi ia memiliki kebaikan, di sisi lain ia
tentunya memiliki dampak negative.
Dampak
positif dengan masuknya budaya Tionghoa di Indonesia ialah hal ini dapat
memperkaya kebudayaan bangsa Indonesia itu sendiri. Selain itu, kebudayaan
bangsa Tionghoa memiliki berbagai dampak positif untuk Indonesia. Sebagai
contoh silat yang dipelajari orang betawi secara turun-temurun yang pada
dasarnya merupakan kebudayaan Tionghoa. Tidak hanya itu, sikap pemberani orang
betawi juga merupakan hasil peleburan budaya Tionghoa. Telah jelas bahwa
masuknya kebudayaan bangsa Tionghoa juga membawa dampak positif untuk bangsa
Indonesia itu sendiri.
Dampak
negatifnya adalah dengan masuknya kebudayaan Tionghoa ke Indonesia menyebabkan
mudahnya kebudayaan Cina masuk ke Indonesia. Mungkin sedikit terkesan
mengada-ada, tapi hal ini akan sangat terasa setelah banyaknya import barang
dari Cina ke Indonesia. Contoh sederhana adalah ketika kebudayaan Tionghoa
telah begitu menyatu, maka pada hari-hari besar Tionghoa, orang-orang Tionghoa
yang notabanenya berkewarganegaraan Indonesia mungkin akan merindukan
kebudayaan asli mereka dari Cina dan akan berusaha untuk menapatkannya dari
impor. Selain itu, tanpa kita sadari, maka kebudayaan kita akan kian tergerus.
Hal yang paling sederhana yang mungkin tidak kita sadari adalah penggunaan kata
GUE atau LU yang pada dasarnya adalah kosa kata Tionghoa. Penggunaan kosa kata
ini merupakan bahasa gaul bagi anak-anak muda, dan tanpa sadar mereka lupa
untuk menggunakan bahasa-bahasa yang seharusnya mereka lestarikan.
Kekayaan budaya Tionghoa adalah
berkah yang menjadi inspirasi bagi seniman lokal. Bahkan beberapa khasanah
kebudayaan Tionghoa di Nusantara tidak akan dijumpai di Tiongkok sana. Sebut
saja tradisi membuat kue keranjang. Nian Gao atau lebih sering disebut kue
keranjang (tii kwee) adalah salah satu kue wajib imlek. Kue ini mendapat nama
dari cetakan terbuat dari keranjang yang dipakai. Dalam cerita yang berkembang
di kalangan Tionghoa, pembuatan kue ini bermula ketika Tiongkok mengalami
paceklik
Sebegitu dekatnya, sehingga tanpa
disadari warisan budaya itu pun melekat erat dengan kehidupan masyarakat
sehari-hari. Seperti tak ada lagi batas.
Namun demikian selalu saja ada penilaian minor terhadap etnis minoritas ini, mulai dari soal penguasaan sumberdaya ekonomi sampai dengan gaya hidup ekslusif yang dilakoni mereka. Stereotipe tentang Tionghoa yang picik, culas, dan menghalalkan segala cara untuk mencari uang pun menyebar luas di kalangan warga pribumi. Padahal, sifat yang sama juga bisa jadi dimiliki oleh komunitas etnis lainnya di negeri ini, tak terkecuali pribumi sendiri. Stigma itu tentu tidak datang dengan sendirinya di dalam benak warga non-Tionghoa. Ada proses sejarah yang melatarinya.
Namun demikian selalu saja ada penilaian minor terhadap etnis minoritas ini, mulai dari soal penguasaan sumberdaya ekonomi sampai dengan gaya hidup ekslusif yang dilakoni mereka. Stereotipe tentang Tionghoa yang picik, culas, dan menghalalkan segala cara untuk mencari uang pun menyebar luas di kalangan warga pribumi. Padahal, sifat yang sama juga bisa jadi dimiliki oleh komunitas etnis lainnya di negeri ini, tak terkecuali pribumi sendiri. Stigma itu tentu tidak datang dengan sendirinya di dalam benak warga non-Tionghoa. Ada proses sejarah yang melatarinya.
Peran sejarah komunitas Tionghoa,
seperti dalam bidang bahasa, sastra dan pers pun dilupakan. Komunitas Tionghoa
yang identik dengan kegiatan dagang dan tuduhan komunis yang dilabelkan kepada
mereka pascaperistiwa G.30.S menghapus peran serta mereka pada pembangunan
bangsa ini. Pandangan miring lain yang juga dilabelkan kepada komunitas
Tionghoa adalah cara mereka beradaptasi dengan situasi politik yang cepat
berubah. “Pada zaman Belanda mereka bersikap pro-Belanda. Pada saat Jepang
menjadi tuan, mereka berkawan dengan Jepang. Kemudian datanglah revolusi dan
mereka bersikap baik kepada kita. Tak aneh jika istilah “cincai” kerapkali
digunakan untuk menunjukkan sikap kompromi terhadap segala sesuatu yang bisa
mendatangkan untung/keselamatan.
Seperti tak puas dengan
stigmatisasi, penggunaan kata “Cina” pun kerapkali digunakan dengan tujuan
insinuasi terhadap komunitas Tionghoa. “Padahal istilah itu bukan lahir dari
warga keturunan Tionghoa sendiri. Istilah itu baru dibawa oleh bangsa-bangsa
Barat yang mulai datang ke Nusantara sejak awal Abad ke-17. Eddie lebih
cenderung kepada istilah Tionghoa. “Istilah Tionghoa jauh lebih tepat untuk
digunakan karena sebutan itu datang dari kalangan Tionghoa sendiri,” kata
pendiri sebuah perusahaan farmasi terkemuka itu.
[1]
Ahira, Anne. “Arti Budaya Menurut Pakar”. http://www.anneahira.com/arti-budaya.htm.
diunduh pada hari Rabu, 18 April 2012 Pukul 12.39 WIB.
[2] Dawis,Aimee.(2008). Orang Indonesia Tionghoa Mencari
Identitas.Jakarta :Intisari
[3]
Yayat Suratmo, Seni: Pengaruh Budaya Tionghoa di Betawi, http://kabarinews.com/article/Berita_Indonesia/Seni/Seni_Pengaruh_Budaya_Tionghoa_di_Betawi/33298,
diunduh pada tanggal 19 April 2012 pukul 20.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar